Ketika Ekonomi Mulai Berbisik

2 hours ago 1

Oleh: Indra Gusnady

OPINI -   Ekonomi tidak selalu berteriak ketika mulai bermasalah. Lebih sering ia berbisik, melalui perubahan kecil di pasar tenaga kerja, pelemahan daya beli, atau penurunan pesanan industri yang tidak langsung terasa di permukaan.

Indonesia hari ini tidak berada pada tepi jurang, tetapi sejumlah indikator mulai memberi isyarat kuning yang layak dicermati.

Pertumbuhan ekonomi masih stabil di kisaran lima persen, namun fondasinya melemah. Konsumsi rumah tangga, penopang lebih dari separuh PDB mulai menunjukkan perlambatan.

Kenaikan harga pangan dan energi membuat belanja masyarakat lebih hati-hati. Sementara itu, sektor industri belum kembali pada kekuatan penuh; 'utilisasi' pabrik di beberapa klaster manufaktur bergerak turun, menandakan pesanan yang tidak setinggi tahun lalu.

Di tingkat global, tekanan juga menguat. Ketidakpastian suku bunga Amerika Serikat menahan arus modal masuk.

Nilai tukar rupiah bergerak fluktuatif, memengaruhi biaya impor bahan baku industri. Investor menunggu kepastian arah kebijakan fiskal dan hilirisasi pemerintah kedepan.

Semua ini bukan ancaman tunggal, tetapi kisi-kisi yang jika dirangkai menunjukkan pola yang sama: ekonomi sedang meminta perhatian.

Tanda-tanda itu tampak jelas pada 'early warning system' (EWS) ekonomi: – Daya beli melemah, terlihat dari perlambatan ritel dan penjualan barang tahan lama. – Tenaga kerja belum sepenuhnya pulih, dengan penyerapan kerja informal yang meningkat lebih cepat daripada pekerjaan produktif jangka panjang. – Indeks pesanan manufaktur menurun, terutama di sektor tekstil, kimia, dan logam dasar. – Rupiah dan pasar obligasi bergejolak, mengirim sinyal bahwa pasar membaca ketidakpastian jangka pendek.

Tidak ada yang dramatis, tetapi semuanya konsisten. Yang diperlukan bukan alarm, melainkan kepekaan membaca arah angin.

Di tengah isyarat itu, pemerintah sebenarnya memiliki ruang manuver. Belanja negara masih menopang aktivitas ekonomi, terutama lewat pembangunan infrastruktur dan bansos. Namun tanpa strategi yang lebih tajam, kebijakan fiskal hanya menjadi pereda nyeri, bukan pemulih daya. Seperti obat sakit kepala.

Dibutuhkan langkah yang lebih terukur, antara lain.

Pertama, memperkuat daya beli melalui stabilisasi harga pangan dan energi. Tidak harus intervensi besar-besaran; cukup memastikan jalur distribusi lancar dan stok tersedia.

Kedua, menjaga iklim investasi dengan memberikan kepastian regulasi hilirisasi mineral, pajak, dan ketenagakerjaan. Investor tidak takut risiko, mereka hanya takut ketidakpastian.

Ketiga, menggenjot produktivitas sektor riil. Hilirisasi harus bergerak ke barang bernilai tambah tinggi, bukan berhenti pada olahan primer. UMKM perlu dukungan pembiayaan murah, bukan sekadar pelatihan tanpa ekosistem.

Keempat, memperkuat cadangan energi dan pangan, mengurangi ketergantungan pada impor yang rentan pada gejolak global.

Ekonomi Indonesia masih memiliki tenaga. Namun untuk menjaga langkahnya tetap mantap, kita harus mau mendengar bisikannya. Sebab, sebelum badai datang, selalu ada angin kecil yang lebih dulu mengetuk jendela.

Read Entire Article
Karya | Politics | | |