PAPUA - Di tengah gelombang pernyataan provokatif dari kelompok bersenjata Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat–Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) yang menolak pembangunan pos TNI di Puncak Jaya dan beberapa wilayah lain, aparat negara memberikan respons tegas. Kelompok tersebut bahkan tidak segan melontarkan ancaman serangan terhadap personel keamanan dan ultimatum kepada warga non-Papua, mengklaim area tersebut sebagai “zona perang”.
Menanggapi hal ini, Panglima Komando Operasi (Pangkoops) HABEMA, Mayjen TNI Lucky Avianto, secara tegas membantah narasi menyesatkan yang dilancarkan TPNPB-OPM. Ia menekankan bahwa tindakan kelompok tersebut tidak hanya bertentangan dengan hukum nasional, tetapi juga mengabaikan prinsip-prinsip kemanusiaan yang fundamental.
“Kehadiran TNI di Papua, termasuk pembangunan pos pengamanan, adalah langkah sah, konstitusional, dan legal. Tujuannya jelas: melindungi masyarakat sipil serta memastikan roda pemerintahan dan pembangunan berjalan aman, ” ujar Mayjen Lucky Avianto, Minggu (21/12/2025).
Mayjen Lucky Avianto menjelaskan bahwa tugas dan kewenangan TNI telah diatur secara rinci dalam peraturan perundang-undangan. Ini mencakup Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 30, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, serta Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2019. Regulasi ini memberikan mandat kepada TNI untuk menjaga kedaulatan negara, mengamankan wilayah yang rawan, serta membangun sarana pendukung tugas demi kepentingan nasional.
Ia menambahkan bahwa pembangunan pos TNI di wilayah rawan konflik bukanlah bentuk provokasi, melainkan sebuah langkah preventif yang vital dari negara. “Pos pengamanan dibangun untuk melindungi masyarakat dari ancaman kelompok bersenjata, memberi rasa aman bagi tenaga pendidik, tenaga kesehatan, dan pekerja pembangunan, serta mencegah kekerasan meluas, ” tegasnya.
Pendekatan humanis dan teritorial menjadi prioritas utama dalam setiap pelaksanaan tugas TNI di Papua. Hal ini sejalan dengan Instruksi Presiden RI Nomor 9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan Papua.
“Kami hadir tidak semata-mata sebagai kekuatan militer, tetapi juga sebagai bagian dari solusi sosial. TNI terlibat dalam pengamanan, pelayanan kesehatan, pendidikan, hingga membangun komunikasi sosial dengan seluruh elemen masyarakat, ” jelas Mayjen Lucky Avianto.
Dalam menghadapi ancaman bersenjata, TNI berkomitmen untuk setiap langkah dilakukan secara profesional, proporsional, dan senantiasa menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) serta hukum humaniter internasional.
Ancaman yang dilontarkan TPNPB-OPM terhadap masyarakat sipil, termasuk para pendidik, tenaga medis, dan pekerja infrastruktur, dinilai sebagai pelanggaran serius. Tindakan semacam ini berpotensi dikategorikan sebagai tindak pidana terorisme sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Lebih jauh, aksi kekerasan terhadap warga sipil tidak hanya melanggar hukum nasional, tetapi juga bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar hukum humaniter internasional. Ini termasuk prinsip pembedaan antara kombatan dan non-kombatan, proporsionalitas, serta kewajiban kehati-hatian dalam setiap tindakan bersenjata.
Melalui TNI, pemerintah menegaskan bahwa kehadiran negara di Papua bertujuan untuk menjamin hak dasar seluruh warga negara tanpa terkecuali, bukan untuk menebar ketakutan.
“TNI hadir untuk melindungi, bukan menindas. Negara wajib memastikan rakyat Papua dapat hidup aman, beraktivitas normal, dan menikmati pembangunan yang adil, ” pungkas Mayjen Lucky Avianto.
Upaya provokasi dan kekerasan bersenjata yang dilakukan oleh kelompok separatis dinilai tidak memiliki legitimasi dalam kerangka negara hukum. TNI akan terus menjalankan tugasnya secara profesional, akuntabel, dan berlandaskan hukum demi menjaga keutuhan wilayah serta kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.


















































