OPINI - Sumatera berduka. Mulai dari Aceh, Sumut, Sumbar, bahkan sebagian bencana menimpa Sumsel hingga Lampung. Ribuan nyawa melayang serta ribuan rumah hanyut dan entah kemana rimbanya. Siapa pelaku di balik bencana?
Yang pasti, bukan salah Tuhan. Bukan juga salah alam. Anak kecil tahu: "banjir terjadi akibat ulah manusia". Ini pengetahuan dasar. Gak perlu bantahan para pejabat dan penjelasan para ahli lingkungan. Beda dengan gempa dan sunami, tak ada kemampuan manusia untuk terlibat.
Lalu, siapa dibalik bencana sumatera ini? Kita semua tahu jawabannya. Pihak yang terlibat adalah pemilik perusahaan yang menebang hutan. Legal, maupun ilegal. Pemilik perusahaan tidak sendirian. Mereka tak akan mampu menebang hutan, juga tak akan bisa membuka lahan tambang tanpa melibatkan para pejabat di institusi pemerintahan. Juga aparat. Kita sering menyebutnya oknum. Tapi, keterlibatan ini seringkali bersifat struktural dan sistematis (terencana). Jika hanya "oknum", mengapa penebangan hutan dan pembukaan lahan tambang selalu terstruktur, dilakukan secara masif (di berbagai wilayah) dan terencana? Masih tepatkah menyebut oknum?.
Seorang kepala dinas ESDM dari salah satu wilayah tambang pernah saya tanya: ada berapa perusahaan tambang di wilayah ini yang punya IUP (Ijin Usaha Pertambangan)? Dia jawab: sekitar 300. Tapi, ada lebih dari 1000 penambang di sini yang tidak punya IUP, katanya. Maksudnya ilegal, tanyaku. Betul, jawabnya.
Inilah gambaran praktek tambang di wilayah hutan Indonesia. Jumlah tambang ilegal lebih banyak dari tambang legal. Bisa tiga hingga empat kali lipat. Yang legal saja seringkali bermasalah terkait data, prosedur, syarat dan tanggung jawab reklamasinya, apalagi yang ilegal.
Ilegal mining ini berlaku di tambang batubara, emas, nikel, dan timah. Emoat tambang ini yang paling seksi. Selain sejumlah tambang lain seperti tembaga, bauksit, galian C, dll. Hutan lindung dan hutan konservasi rusak parah karena ekoploitasi tambang-tambang ini.
Dan yang tidak kalah dahsyatnya adalah transformasi hutan ke sawit dan sejenisnya. Jumlahnya puluhan juta hektar.
Hasil dari praktek deforestasi, penambangan ilegal dan tambang legal ber-IUP, yang banyak dimanipulasi ini telah mengakibatkan bencana banjir di berbagai wilayah Indonesia. Tidak terhitung lagi berapa ratus ribu nyawa telah hilang, rumah hanyut, infrastruktur dan jalan rusak. Data bencana lengkap dengan kerugian, kerusakan dan kematian di berbagai wilayah bisa di-googling. Sumatera hanya salah satunya. Sebelumnya, bencana menjadi rutinitas tahunan, bahkan bulanan.
Banjir dan longsor yang diikuti dengan kematian warga yang tinggal di sekitar hutan sudah seperti ritual. Bahkan beberapa kali terjadi setiap tahunnya. Dari skala kecil hingga besar. Dampaknya mematikan, memiskinkan, menguras uang negara dan merusak segalanya.
"Setiap bencana selalu mendatangkan empati, tapi bukan solusi." Penebangan hutan jalan terus, penambangan ilegal semakin liar dan vulgas.
Setiap bencara datang selalu disambut dengan ucapan duka, bantuan dan doa. Ini tidak salah dan harus terus dilanjutkan. Tapi, ucapan dan bantuan bukan solusi. Itu semua tak akan mampu menghentikan bencana banjir. Minggu depan, bulan depan dan tahun depan bencara rutin akan terus datang dan mengambil puluhan hingga ribuan nyawa manusia. Itulah Indonesia.
Mereka yang mati bukan para penebang hutang, bukan keluarga pemilik tambang, bukan saudaranya menteri kehutanan, ESDM dan menteri lingkungan hidup. Mereka juga bukan dari keluarga aparat yang mencari tambahan rizki di luar gaji. Mereka bukan juga keluarga bupati, gubernur, kepala dinas, para pejabat dan pimpinan partai. Bukan. Mereka yang mati adalah warga miskin yang hidup di pinggiran hutan dan sungai. Mereka telah lama terpinggirkan oleh kebijakan negara, mati juga diterjang banjir.
Sampai kapan negara membiarkan bencana ini? Semua orang tahu perusahaan mana saja yang harus bertanggun jawab? Rakyat juga tahu institusi mana yang kongkalikong, terlibat dan jadi back up perusahaan-perusahaan itu.
Kabarnya, presiden telah mengantongi identitas sejumlah perusahaan dan nama-nama pejabat yang terlibat. Kita tunggu ekskusinya.
Bencana banjir bukan ulah satu orang. Tapi ulah sejumlah kelompok usaha yang kolaborasi dengan "oknum" kekuasaan dan aparat. Gak bisa dikerjakan sendiri tanpa sinergi pemilik modal dan para pejabat di tingkat elit maupun daerah. Dikerjakan secara sistematis dan terstruktur.
"Mustahil" mereka bisa dimintai tanggung jawab. Terlalu kuat. Punya ases kekuasaan. Bahkan sebagian merupakan bagian dari kekuasaan itu sendiri. Anda berkhayal jika masih berpikir ada pihak yang bisa dituntut untuk bertanggung jawab. Itu kategori khayalan tingkat tinggi. Kenapa? Karena hampir semua terlibat. Hampir semua terima setoran. Ada bagi-bagi hasil jarahan hutan dan tambang. Entah apapun istilah dan sandi yang mereka bikin. Bagi-bagi hasil itu pasti. Seberapanya, itu bergantung kesepakatan dan hasil nego. Bergantung posisi dan jabatan. "Tidak ada makan siang sendirian bro !"
Di atas wilayah yang terkena bancana banjir Sumatera itu, ada perusahaan-perusahaan yang nama-namanya mulai beredar. Itu milik siapa, masyarakat mudah mengenaliinya. Juga siapa-siapa komisarisnya, itu menjadi petunjuk untuk mengetahui para backing. Anda juga mudah mengetahuinya. Googling,
Jika anda berpikir lebih jauh lagi, bahwa bencana banjir akibat deforestasi ini tidak hanya di Sumatera, tapi juga di Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua dan hampir seluruh wilayah Indonesia. Apakah bencana yang semakin rutin menyapa negara ini, lalu membuat negara sadar dan melakukan evaluasi nasional?
Anda berhak pesimis. Sebab, pesimisme anda punya alasan historis.
Jakarta, 19 Desenber 2025.
Tony Rosyid*
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa


















































