PASURUAN - Di tengah keindahan dataran tinggi Kecamatan Tutur, Kabupaten Pasuruan, tersimpan kisah kejayaan sekaligus ancaman kepunahan sebuah komoditas pertanian yang telah mengakar kuat: apel. Sejak zaman penjajahan Belanda, tepatnya diperkenalkan oleh Mr. Kribben sekitar tahun 1900-an di Dusun Mesagi, Desa Wonosari, apel tumbuh subur dan menjadi tumpuan hidup ribuan petani. Bahkan, pertanian apel di sini disebut-sebut sebagai yang terbesar di Jawa Timur, membentang di berbagai desa seperti Andonosari, Kayukebek, Blarang, Ngadirejo, Wonosari, Gendro, Tlogosari, Tutur, Pungging, dan Kalipucang.
Namun, senyum para petani kini perlahan memudar. Beberapa tahun terakhir, apel Tutur dilanda krisis yang menggerogoti luas lahan dan produktivitasnya. Jika dulu lahan apel mencapai sekitar 2.000 hektare, pada tahun 2018 merosot menjadi 1.278, 78 hektare, dan tahun ini menyisakan sekitar 744, 91 hektare. Penurunan drastis ini tentu berimbas pada hasil panen. Dari puluhan ribu ton, tahun 2018 hanya tercatat 54.053, 04 ton, dan tahun ini anjlok ke angka 21.072, 50 ton.
“Luas lahan mempengaruhi hasil panen yang didapat. Lahannya berkurang, hasil panen juga turun. Saat ini turun drastis, terutama semenjak Covid-19, ” ujar Heri Subhan, Wakil Ketua KTNA Kabupaten Pasuruan sekaligus Ketua Gapoktan Apel Kharisma Agro Andonosari.
Lebih lanjut, perubahan iklim menjadi musuh utama yang kian memperburuk kondisi. Kenaikan suhu dan pola hujan yang tak menentu berdampak buruk pada pembungaan dan kualitas buah apel, ditambah serangan hama yang tak kunjung usai. Tanaman subtropis yang membutuhkan cuaca dingin ini kesulitan beradaptasi dengan iklim yang semakin panas.
“Perubahan iklim dan cuaca, sangat berpengaruh bagi tanaman apel. Apalagi tanaman ini bukan dari tropis, melainkan dari subtropis, sehingga banyak petani merugi dan beralih ke tanaman lain. Seperti, jeruk, cabai, kubis, tomat, dan lain-lain, ” ungkapnya.
Dulu, ketinggian 900-1.000 meter di atas permukaan air laut (mdpl) sudah ideal untuk apel. Kini, ketinggian 1.000-1.300 mdpl menjadi syarat minimal. Di Kecamatan Tutur, apel masih bertahan di ketinggian 1.000-1.700 mdpl, dengan suhu rata-rata 16-27 derajat Celsius. Subaka, petani apel milenial dari Dusun Taman, Desa Kayukebek, menambahkan, “Suhu rata-ratanya 16-27 derajat selcius saat musim kemarau dan di luar kemarau. Butuh dingin dan diketinggian tertentu.”
Meski demikian, tiga jenis apel yang dibudidayakan—manalagi, rome beauty, dan anna—tetap mempertahankan kualitas unggulnya. “Tekstur buahnya lebih bagus. Termasuk kandungan airnya. Vitamin lebih banyak, lebih tahan lama, dan kulit lebih tebal, ” ujar Subaka.
Menyadari ancaman ini, Pemerintah Kabupaten Pasuruan melalui Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian memberikan perhatian serius. Program Sekolah Lapang (SL) menjadi salah satu upaya untuk membangkitkan kembali kejayaan apel Tutur. Program ini mencakup Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SL PHT), Good Agriculture Practice (SL GAP), dan Good Handling Practice (SL GAP).
“Sekolah lapang ini bertujuan untuk meningkatkan keterampilan para petani apel. Terutama dalam mengendalikan hama dan penyakit tanaman, menerapkan standar pertanian dan penanganan pascapanen yang baik. Serta, untuk menjaga kualitas dan kuantitas produk, ” jelas Plt Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Pasuruan, Hari Hijroh.








































