MAKASSAR — Polemik pemanfaatan lahan milik Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Luwu Timur di Desa Harapan, Kecamatan Malili, kembali memasuki babak baru.
Fakta baru terungkap dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di DPRD Provinsi Sulawesi Selatan, Kamis (18/12), yang menambah panjang daftar pertanyaan publik terkait tata kelola aset daerah tersebut.
Dalam forum resmi itu terungkap bahwa sebelum menjalin kerja sama dengan PT Indonesia Huali Industrial Park (IHIP), Pemkab Luwu Timur ternyata lebih dahulu menandatangani nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) dengan PT Kawasan Anugerah Indonesia (PT KAI) atas lahan yang sama.
Fakta tersebut mencuat setelah perwakilan Aliansi Masyarakat Luwu Timur mempertanyakannya secara langsung kepada Pelaksana Tugas Sekretaris Daerah Luwu Timur, Ramadhan Pirade, terkait kejelasan status dan substansi kontrak yang selama ini tidak pernah diketahui publik.
Keberadaan MoU antara Pemkab Lutim dan PT KAI bahkan tidak pernah disosialisasikan secara terbuka, baik kepada masyarakat maupun lembaga legislatif. Ironisnya, kerja sama tersebut justru dibatalkan dalam rentang waktu yang sangat singkat, yakni sekitar sepekan sebelum Pemkab Lutim menandatangani perjanjian dengan PT IHIP pada 24 September 2025.
Nilai Kontrak Disebut Sama
Dalam RDP tersebut, perwakilan Aliansi Masyarakat Luwu Timur secara tegas mempertanyakan kesetaraan nilai kedua kerja sama tersebut.
“Apakah kontrak dengan PT KAI nilainya sama dengan kontrak PT IHIP?” tanya perwakilan aliansi di hadapan peserta RDP.
Pertanyaan itu dijawab singkat oleh Ramadhan Pirade. “Ya, sama saja. Pakai appraisal juga, ” ujarnya.
Namun, pernyataan tersebut justru memunculkan tanda tanya baru. Pasalnya, berdasarkan dokumen MoU Pemkab Lutim–PT KAI yang kemudian beredar, tidak ditemukan penjelasan rinci mengenai nilai ekonomi kerja sama dimaksud.
Dokumen tersebut tidak memuat kejelasan apakah terdapat skema sewa, kontribusi tetap, bagi hasil, atau bentuk penerimaan daerah lainnya dari pemanfaatan lahan tersebut.
Selain itu, dokumen pengakhiran kerja sama bernomor 100/024/PKS/PEM-LT/IX/2025 tertanggal 15 September 2025 juga tidak secara eksplisit menjelaskan model kerja sama yang digunakan, apakah berbentuk sewa murni, kerja sama pemanfaatan (KSP), atau pola pengelolaan aset daerah lainnya.
Dokumen tersebut pun tidak mencantumkan lembaga appraisal yang digunakan maupun metodologi penilaian lahan yang menjadi dasar penentuan nilai, sebagaimana disebutkan oleh pihak Pemkab Lutim dalam forum RDP.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan lanjutan di ruang publik. Jika nilai kontrak PT KAI dan PT IHIP disebut “sama”, sementara dokumen MoU PT KAI tidak memuat nilai yang transparan dan terukur, maka dasar kesetaraan nilai tersebut menjadi sulit diverifikasi secara objektif.
Pergantian mitra kerja sama dari PT KAI ke PT IHIP dalam waktu yang relatif singkat, tanpa penjelasan terbuka mengenai alasan pembatalan, semakin memperkuat sorotan terhadap tata kelola aset daerah Pemkab Luwu Timur. Terlebih, lahan yang dipersoalkan merupakan aset strategis daerah yang direncanakan untuk pengembangan kawasan industri.
Aliansi Masyarakat Luwu Timur menilai, temuan ini menegaskan bahwa persoalan lahan Pemkab Lutim tidak semata berkaitan dengan isu investasi, melainkan menyangkut transparansi kebijakan, akuntabilitas pengelolaan aset publik, serta hak masyarakat untuk mengetahui proses pengambilan keputusan yang berdampak luas.
Hingga kini, polemik sewa dan pemanfaatan lahan tersebut telah dibahas baik di DPRD Kabupaten Luwu Timur maupun DPRD Provinsi Sulawesi Selatan. Namun, pembahasan tersebut belum menghasilkan kejelasan yang dinilai memadai.
Temuan baru dalam RDP DPRD Sulsel ini diperkirakan akan memperkuat dorongan agar persoalan tersebut mendapat pengawasan lebih lanjut, termasuk di tingkat nasional. (*)











































