OPINI - Kita hidup di zaman ketika gaji UMR dianggap kegagalan, dan hidup sederhana dinilai kurang berambisi. Media sosial menjelma ruang pamer: pencapaian, barang, tubuh, bahkan kebahagiaan. Segalanya harus diunggah, dikurasi, dan dipoles. Di balik deret testimoni keberhasilan dan flexing kekayaan, tersimpan utang yang dibungkus paylater, pinjol, atau—lebih tragis—judi online.
Kapitalisme digital tak hanya mengubah cara orang bertransaksi, tapi juga cara berpikir dan merasa. Ukuran sukses direduksi jadi angka follower dan saldo e-wallet. Teknologi, yang katanya netral, dalam praktiknya telah membentuk budaya baru: konsumerisme instan, kehidupan serba kilat, dan kekosongan makna.
Ironisnya, banyak orang terjebak dalam jerat yang mereka buat sendiri: membeli barang yang tak perlu, dengan uang yang tak dimiliki, demi impress orang yang tak dikenal. Ini bukan sekadar soal literasi keuangan—ini soal krisis nilai. Soal bagaimana masyarakat kita memaknai harga diri.
Pada titik ini, kisah Nabi Yusuf AS terasa relevan, bahkan sangat kontemporer. Di tengah kelaparan panjang yang mengancam Mesir, Yusuf tak menjanjikan kemakmuran instan. Ia justru menganjurkan penghematan sistematis: menabung di masa subur untuk bertahan di masa sulit. Ia mengatur sumber daya, bukan sekadar mendistribusikannya. Ia menawarkan akal sehat di tengah euforia kelimpahan.
Gaya hidup frugal—hidup hemat, terencana, dan sadar prioritas—bukanlah gaya hidup miskin. Ia adalah perlawanan sunyi terhadap budaya konsumtif. Dalam kisah Yusuf, frugal living bukan sekadar strategi bertahan, tapi jalan menuju keadilan sosial. Sebab dari pengelolaan yang tertib itulah, rakyat tak jatuh miskin saat krisis melanda.
Kita butuh narasi tandingan terhadap arus besar hedonisme digital. Sebab hari ini, generasi muda diajak berutang sejak dini. Pinjaman bisa dicairkan lewat satu klik, tapi membayar bunga bisa memakan separuh hidup. Tangan yang memegang ponsel kini lebih cepat daripada kepala yang mempertimbangkan risiko. Keinginan lebih gesit daripada kebutuhan.
Tak cukup hanya memperkuat regulasi atau mengedukasi konsumen. Kita perlu membongkar narasi-narasi palsu yang menjebak: bahwa kaya harus tampak mewah, bahwa bahagia harus terlihat. Padahal kebahagiaan tak pernah bisa difoto.
Dalam Islam, kebutuhan hidup dibagi dalam tiga tingkat: primer, sekunder, dan tersier. Tetapi algoritma media sosial tak mengenal hirarki ini. Ia mendorong semua keinginan jadi kebutuhan, dan semua kebutuhan jadi kompetisi. Ujungnya: kelelahan kolektif, alienasi, dan utang sosial yang menggunung.
Frugal living ala Yusuf mengajarkan kita hidup cukup. Cukup makan, cukup beli, cukup simpan, cukup berbagi. Ini bukan gaya hidup kuno, ini justru gaya hidup masa depan—di mana bumi tak lagi mampu menopang kerakusan, dan manusia harus memilih: mau hidup cukup atau hidup tercekik.
Nabi Yusuf hidup di istana, tapi tak jadi budak kemewahan. Ia memberi teladan bahwa kekuasaan tak harus membuat pongah, dan kelimpahan tak harus dibelanjakan. Kita, hari ini, butuh sosok semacam itu: yang mengatur dengan hati, bukan dengan gengsi. Sebab hidup sederhana adalah kemewahan baru.
Oleh: Indra Gusnady