BIDIK KASUS - Korupsi di Indonesia adalah penyakit kronis yang seolah sulit disembuhkan. Meskipun pemerintah berulang kali mengkampanyekan upaya pemberantasan korupsi, kenyataannya, nama-nama yang pernah terlibat dalam tindak pidana korupsi masih terus muncul di kursi-kursi strategis pemerintahan dan perusahaan BUMN.
Salah satu contohnya adalah Burhanuddin Abdullah, yang baru-baru ini diangkat sebagai Komisaris Utama PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Apa logikanya mengangkat seseorang dengan rekam jejak terlibat dalam kasus korupsi sebagai figur penting di perusahaan negara yang memiliki peranan vital bagi pembangunan ekonomi Indonesia?
Burhanuddin Abdullah adalah seorang ekonom yang memiliki rekam jejak panjang dalam dunia pemerintahan dan ekonomi. Ia lahir di Garut, Jawa Barat pada 10 Juli 1947 dan memulai kariernya sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian di bawah pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur). Kemudian, ia menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia (BI) pada tahun 2003 dan Gubernur untuk International Monetary Fund (IMF), Washington DC, yang membawa nama Indonesia ke kancah internasional. Di luar dunia pemerintahan, Burhanuddin juga dikenal sebagai Ketua Umum Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) pada periode 2003-2006, dan terpilih kembali pada periode 2006-2008.
Namun, nama Burhanuddin Abdullah tidak sepenuhnya bersih dari noda. Pada Januari 2008, ia terjerat dalam sebuah kasus korupsi besar yang melibatkan aliran dana Bank Indonesia (BI) ke sejumlah anggota DPR dan petinggi BI. Kasus ini menghebohkan masyarakat, mengingat peran BI yang sangat vital dalam kestabilan ekonomi Indonesia. Burhanuddin ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus yang melibatkan dana sebesar Rp100 miliar. Pada Oktober 2008, ia dijatuhi vonis lima tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta karena terbukti bersalah dalam aliran dana tersebut. Burhanuddin juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp250 juta atau subsider enam bulan kurungan.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, bagaimana seseorang dengan catatan kelam seperti Burhanuddin bisa menduduki posisi strategis di perusahaan milik negara yang seharusnya dijaga kredibilitas dan integritasnya? PLN, sebagai badan usaha milik negara yang memiliki peran besar dalam menyediakan energi listrik di Indonesia, seharusnya dipimpin oleh individu yang tidak hanya memiliki pengalaman tetapi juga kredibilitas tinggi dalam hal integritas.
Pengangkatan Burhanuddin sebagai Komisaris Utama PLN menimbulkan kecurigaan dan bahkan kekecewaan di kalangan publik. Bukankah seharusnya Indonesia belajar dari pengalaman masa lalu bahwa orang-orang yang terlibat dalam kasus korupsi harus diberikan sanksi tegas, bukan justru diberikan kesempatan kembali untuk memegang posisi penting?
Logika di balik pengangkatan Burhanuddin Abdullah sebagai Komisaris Utama PLN sulit diterima oleh banyak kalangan, terutama mereka yang telah berjuang keras untuk memberantas korupsi. Apalagi, negara telah membuat berbagai upaya untuk memperbaiki citra pemerintah yang terimbas kasus korupsi, termasuk di dalamnya dalam sektor BUMN.
Penunjukan tokoh dengan catatan korupsi untuk memimpin institusi penting hanya akan merusak upaya tersebut dan menambah ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Jika figur yang sudah pernah terlibat dalam korupsi masih diberi kesempatan untuk memimpin perusahaan strategis negara, maka pesan yang disampaikan adalah bahwa hukum di Indonesia masih bisa dipermainkan.
Selain itu, pengangkatan Burhanuddin Abdullah juga menimbulkan keraguan mengenai komitmen pemerintah terhadap pemberantasan korupsi. Saat pemerintah terus berusaha meyakinkan masyarakat bahwa mereka serius dalam melawan korupsi, tindakan ini justru memberi kesan sebaliknya. Bagaimana mungkin kita bisa berharap masyarakat, khususnya pelaku usaha dan para pemangku kepentingan lainnya, untuk mengikuti norma dan aturan yang benar jika orang-orang yang seharusnya menjadi teladan justru pernah terjerat kasus korupsi dan kini kembali diberi kesempatan untuk berkuasa?
Di sisi lain, Burhanuddin Abdullah telah menjalani hukuman atas tindak pidana korupsi yang dilakukannya. Namun, pertanyaannya tetap muncul: apakah cukup dengan hukuman pidana untuk menghapuskan jejak korupsi seseorang dan memberinya peluang kedua di posisi strategis? Mungkin ada yang berpendapat bahwa kesempatan kedua adalah hal yang manusiawi, namun, apakah kesempatan tersebut seharusnya diberikan di posisi yang begitu krusial dan berisiko tinggi bagi kepentingan negara?
Mengangkat Burhanuddin Abdullah sebagai Komisaris Utama PLN mengundang pertanyaan besar tentang integritas dan komitmen pemerintah dalam memberantas korupsi. Apakah kita masih akan menoleransi tindakan yang tidak adil ini, atau justru kita harus lebih tegas dalam menetapkan standar moral dan etika bagi pemimpin di sektor publik? Jawaban atas pertanyaan ini, tentu saja, akan mempengaruhi bagaimana masyarakat Indonesia melihat kemajuan dan reformasi dalam pengelolaan pemerintahan dan ekonomi negara ke depan.
Jakarta, 12 Maret2025
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi