OPINI - Awal Maret 2025 menjadi titik tolak penting bagi arah baru pembangunan ekonomi desa di Indonesia. Presiden Prabowo Subianto mengumpulkan jajaran kabinet di Istana Merdeka dan menekankan satu hal penting: saatnya desa mengambil peran sentral dalam menggerakkan ekonomi rakyat lewat koperasi.
Tak menunggu lama, pada 27 Maret 2025 lahirlah Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih. Targetnya ambisius—80.000 koperasi di seluruh desa dan kelurahan hingga pertengahan tahun. Tapi ini bukan sekadar angka, melainkan strategi besar memperkuat ekonomi akar rumput.
Kebijakan ini sejalan dengan visi Indonesia Emas 2045 dan arah pembangunan dalam RPJMN 2025–2029. Desa ditempatkan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, kunci kemandirian pangan, serta tonggak awal pemerataan kesejahteraan nasional.
Menariknya, koperasi ini bukan koperasi biasa. Ia hadir sebagai ekosistem ekonomi lokal yang lengkap: dari simpan pinjam, pengelolaan sembako murah, cold storage hasil tani, hingga distribusi dan pemasaran produk unggulan desa lewat platform digital.
Secara hukum, koperasi ini berpijak pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Perkoperasian. Prinsip dasar seperti keanggotaan terbuka, pengelolaan demokratis, dan pembagian hasil secara adil menjadi fondasi utama yang tak boleh dilupakan.
Dari sisi teknologi, Kementerian Koperasi dan UKM bekerja sama dengan PANDI menghadirkan domain .kop.id sebagai identitas digital koperasi. Ditambah aplikasi SIAKOP, koperasi kini bisa mencatat transaksi, mendata anggota, dan menyusun laporan keuangan cukup dari gawai.
Untuk menyiapkan SDM yang siap jalan, sejak awal tahun telah digelar pelatihan Training of Trainers (T.o.T). Ratusan ribu kader desa diberi bekal manajemen koperasi, penyusunan AD/ART, hingga strategi bisnis berbasis komunitas.
Penamaan koperasi juga dibuat sederhana dan khas wilayah. Misalnya, “Koperasi Desa Merah Putih Suka Maju” atau “Koperasi Kelurahan Merah Putih Mekar Jaya”. Format ini memudahkan proses legalisasi koperasi melalui aplikasi SABH.
Musyawarah desa menjadi momen penting: merumuskan anggaran dasar, memilih pengurus pertama, dan menentukan arah koperasi. Setelahnya, pemerintah memfasilitasi notaris untuk mempercepat proses tanda tangan akta pendirian secara massal.
Tahap selanjutnya adalah pengajuan badan hukum ke Kemenkumham. Begitu disahkan, koperasi resmi beroperasi dan bisa mengakses berbagai program pendukung dari kementerian hingga lembaga keuangan.
Soal dana? Pemerintah menyiapkan pembiayaan besar, sekitar Rp400 triliun secara nasional, atau sekitar Rp5 miliar per koperasi. Pendanaannya bersumber dari APBN, APBD, dana desa, Kredit Usaha Rakyat (KUR), LPDB, hingga CSR BUMN.
BLU Kemenkop UKM bersama bank nasional juga menyiapkan skema kredit dengan bunga subsidi dan agunan ringan. Disertai pelatihan literasi keuangan, skema ini dirancang untuk meminimalkan risiko gagal bayar dan memperkuat pengelolaan keuangan koperasi.
Program ini juga membawa semangat inklusif. Setiap koperasi ditargetkan melibatkan minimal 40 persen perempuan, baik sebagai anggota maupun pengurus. Ini jadi langkah nyata untuk mendorong partisipasi perempuan desa dalam pengambilan keputusan ekonomi.
Tak hanya ekonomi, koperasi ini juga jadi ruang edukasi sosial. Forum musyawarah memperkuat semangat gotong royong, audit internal menjaga transparansi, dan pelatihan kewirausahaan meningkatkan kapasitas anggota secara berkelanjutan.
Apa bedanya dengan koperasi desa biasa? Koperasi tradisional tumbuh dari bawah, mengandalkan inisiatif lokal, dengan skala dan sumber daya terbatas. Sementara Koperasi Merah Putih adalah gerakan nasional dengan pendekatan sistematis dan dukungan menyeluruh.
Meski begitu, keduanya punya peran masing-masing. Koperasi tradisional menjaga kearifan lokal, Koperasi Merah Putih hadir untuk memperkuat sistem ekonomi desa secara nasional dan menjawab tantangan era digital.
Namun, tantangan tetap ada. Mulai dari keterbatasan SDM, infrastruktur digital yang belum merata, hingga kurangnya pemahaman masyarakat soal koperasi. Semuanya butuh perhatian dan kerja kolaboratif.
Masalah akses pembiayaan dan pengawasan dana juga jadi sorotan. Pemerintah harus memastikan transparansi tetap terjaga agar koperasi tetap dipercaya oleh anggotanya sendiri.
Untuk itu, sinergi antara pemerintah pusat, daerah, lembaga keuangan, dan masyarakat menjadi sangat penting. Jika dikelola dengan benar, koperasi ini bisa jadi pilar kuat bagi ekonomi desa yang mandiri, produktif, dan berkelanjutan.
Dalam evaluasi 100 hari pertama Kabinet Merah Putih, program ini disebut sebagai salah satu terobosan unggulan. Ia menjanjikan transformasi besar dari desa untuk Indonesia—dengan gotong royong, teknologi, dan semangat baru ekonomi kerakyatan.
Oleh: Indra Gusnady, SE, MM (Pengamat Kebijakan Publik & Perencanaan Kota / Kepala Badan Keuangan Daerah Kabupaten Solok)