Hendri Kampai: Maraknya Korupsi di Hampir Semua Sektor, Indonesia Dikuasai Maling?

1 month ago 17

PEMERINTAHAN - Kadang muncul pertanyaan getir di benak kita semua: apa benar Indonesia ini negeri maling? Lihat saja fakta-fakta yang terpampang nyata di hadapan kita. Korupsi sudah menjalar nyaris ke semua lini. Dari atas hingga bawah, dari pusat hingga daerah, dari kantor legislatif, eksekutif, sampai yudikatif, hampir tak ada ruang yang steril dari tangan-tangan kotor yang rakus memakan uang rakyat.

Skandal demi skandal seakan datang silih berganti. Baru saja kita mengutuk kasus megakorupsi e-KTP senilai triliunan rupiah yang menyeret wakil-wakil rakyat yang seharusnya menjaga amanah, kini sudah muncul skandal baru yang tak kalah busuk. Masih segar dalam ingatan publik, tragedi dana pensiun nasabah dalam kasus Jiwasraya dan ASABRI yang lenyap entah ke mana, meninggalkan duka panjang bagi para pensiunan yang seharusnya menikmati masa tua dengan tenang.

Belum cukup? Silakan lihat kasus BTS 4G Kominfo yang menampar akal sehat kita semua. Di saat rakyat pelosok menunggu hadirnya sinyal internet, uang proyeknya justru dirampok habis-habisan oleh pejabat tinggi negara sendiri. Publik kembali dibuat muak oleh ulah rakus elite yang tega menjadikan kebutuhan dasar masyarakat sebagai bancakan pribadi.

Namun puncaknya belum berhenti di situ. Tiba-tiba kita dikagetkan oleh kasus kolosal korupsi tambang timah Bangka Belitung. Ini bukan sekadar kasus biasa—kerugian negara mencapai Rp271 triliun, angka yang bahkan sulit dibayangkan oleh rakyat biasa. Sumber daya alam yang mestinya dinikmati oleh masyarakat Bangka Belitung justru dirampok habis-habisan oleh segelintir pengusaha dan pejabat yang tak pernah puas menimbun kekayaan.

Belum juga selesai menghitung luka, kasus dugaan korupsi proyek kilang minyak di tubuh Pertamina ikut muncul ke permukaan. Sektor energi, jantung ketahanan bangsa, ikut dikotori oleh ulah para maling berdasi yang sibuk menaikkan biaya proyek demi keuntungan pribadi. Lagi-lagi, yang dirugikan bukan hanya uang negara, tapi juga masa depan energi negeri ini.

Dan jangan lupa kasus dugaan korupsi emas PT Antam, di mana permainan manipulasi logam mulia dan penggelapan emas menyebabkan kerugian negara hingga puluhan triliun rupiah. Emas, yang menjadi simbol kekayaan negeri ini, justru jadi rebutan para serakah yang rakus menumpuk pundi-pundi tanpa peduli nasib rakyat.

Lalu bagaimana dengan Garuda Indonesia? Maskapai kebanggaan nasional ini ikut tercoreng lewat kasus suap pengadaan pesawat dan mesin. Hasilnya? Garuda nyaris bangkrut, hutang menumpuk, dan rakyat hanya bisa geleng kepala melihat betapa kotornya permainan di balik layar perusahaan plat merah ini.

Kalau bicara sejarah, siapa yang bisa melupakan kasus legendaris BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia)? Uang ratusan triliun rupiah menguap dibawa kabur para konglomerat hitam yang hingga hari ini masih bebas berkeliaran di luar negeri, tertawa-tawa melihat upaya pengejaran yang berjalan seperti sandiwara.

Atau kasus Bank Century, dengan bailout Rp6, 7 triliun yang hingga kini masih menjadi misteri gelap penuh intrik politik. Negara ini seperti sudah terbiasa bermain-main dengan angka kerugian puluhan hingga ratusan triliun, sementara rakyat di bawah terus dihimpit harga pangan mahal, pendidikan mahal, dan pelayanan kesehatan yang jauh dari layak.

Belum lagi kalau kita ingat deretan kasus besar lainnya: Hambalang yang mangkrak dan menyisakan kerugian, Pelindo II, impor garam, bansos COVID-19 yang dikorupsi di tengah penderitaan rakyat, hingga korupsi dana desa yang merajalela di penjuru pelosok negeri.

Kalau sudah begini, siapa yang masih bisa menyangkal kalau korupsi telah menjadi wajah sehari-hari negeri ini? Bagaimana mungkin negara bisa maju jika setiap jengkal ruang diisi oleh maling? Bagaimana mungkin rakyat bisa sejahtera jika uang pajak yang mereka bayarkan justru dinikmati oleh para tikus berdasi yang duduk nyaman di kursi kekuasaan?

Negeri ini seakan berjalan di atas pondasi korupsi yang semakin hari semakin kuat. Pejabat jujur ada, tentu saja, tapi mereka minoritas dan kerap terpinggirkan oleh sistem yang lebih memihak para pelaku kejahatan terorganisir ini. Sementara, rakyat kecil hanya bisa pasrah, marah pun terasa percuma karena hukum pun sering kali tumpul ke atas dan tajam ke bawah.

Janji hukuman mati bagi koruptor terus didengungkan, tetapi hingga hari ini sebatas slogan kosong tanpa realisasi nyata. Reformasi birokrasi hanya jadi hiasan pidato, penegakan hukum tanpa pandang bulu tinggal ilusi belaka. Negeri ini terus terjebak dalam pusaran setan korupsi yang tak kunjung putus.

Kini, kita semua harus berani bertanya dengan lantang:
Apakah kita rela terus hidup di negeri yang dikuasai maling?
Atau saatnya bangkit melawan, menuntut perubahan nyata demi masa depan Indonesia yang lebih bersih, lebih adil, dan lebih manusiawi?

Karena jika dibiarkan terus seperti ini, bukan tidak mungkin suatu saat rakyat akan benar-benar kehilangan sabar, dan sejarah akan menulis babak baru tentang bangsa yang akhirnya hancur oleh kerakusan para pengkhianat negeri.

Kini, setelah begitu banyak luka yang ditorehkan oleh tangan-tangan rakus itu, bangsa ini harus berhenti hanya menjadi penonton yang sabar. Waktunya rakyat bersuara lantang, waktunya negara bertindak tegas. Kita tak bisa lagi mengandalkan janji-janji manis para elite yang tiap kali kasus terbongkar hanya pandai berkata, "akan dievaluasi, " "akan diproses, " atau "akan diperbaiki, " sementara koruptor masih bebas hidup mewah di balik jeruji yang longgar.

Solusi konkret harus dimulai dari keberanian politik tertinggi. Tidak cukup hanya menangkap satu dua orang lalu berhenti. Penegakan hukum harus sistemik dan menyeluruh. Tidak boleh ada lagi istilah "orang kuat" yang kebal hukum. Siapapun dia, apapun partainya, apapun jabatannya, jika terbukti korupsi—harus dihukum berat, bahkan bila perlu dengan hukuman mati atau hukuman sosial seumur hidup agar menjadi efek jera yang nyata. Korupsi bukan lagi sekadar pelanggaran administrasi; ia sudah menjadi kejahatan kemanusiaan yang merampas hak hidup rakyat.

Transparansi dan partisipasi publik juga harus diperkuat. Setiap proyek negara, setiap anggaran daerah, hingga bantuan sosial terkecil harus bisa dipantau publik secara real-time. Rakyat harus diberi ruang untuk mengawasi, melapor, dan menuntut pertanggungjawaban tanpa takut diintimidasi atau dibungkam.

Selain itu, pendidikan antikorupsi harus masuk ke dalam kurikulum sejak dini, bukan sekadar teori, tetapi dengan praktik nyata yang mengajarkan kejujuran, tanggung jawab, dan keberanian melawan ketidakadilan. Generasi muda harus disiapkan untuk menjadi lawan tangguh para maling uang rakyat, bukan malah dilatih mengikuti jejaknya.

Dan yang paling penting, kita semua, rakyat Indonesia, harus berhenti permisif. Jangan lagi beri ruang untuk kompromi. Jangan lagi memaklumi korupsi kecil-kecilan. Jangan lagi merasa itu urusan "orang atas." Korupsi besar lahir dari pembiaran terhadap korupsi kecil. Jika kita membiarkan pungli, sogokan, gratifikasi kecil di sekitar kita, maka kita turut memberi jalan pada kejahatan yang lebih besar.

Karena pada akhirnya, perang melawan korupsi bukan hanya tugas KPK, polisi, atau hakim. Ini adalah tugas kita semua. Tugas bangsa yang ingin bangkit dari kubangan kehinaan menuju negeri yang benar-benar berdaulat, adil, dan makmur.

Pertanyaannya sekarang sederhana:
Mau sampai kapan kita membiarkan maling-maling ini menguasai negeri?
Atau sudah saatnya kita bilang, "Cukup! Sampai di sini!" dan mulai membangun Indonesia yang bersih, Indonesia yang benar-benar milik rakyat, bukan milik para pencuri?

Jika kita diam, maka bersiaplah jadi korban selanjutnya. Tapi jika kita bergerak, maka sejarah akan mencatat, bahwa di tengah gelapnya korupsi yang merajalela, pernah ada rakyat yang memilih bangkit dan melawan.

Jakarta, 06 Maret2025
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi

Read Entire Article
Karya | Politics | | |