JAKARTA - Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemlu RI) menguak fakta mengejutkan: lebih dari 10.000 warga negara Indonesia (WNI) tercatat terlibat dalam berbagai kasus penipuan daring (online scam) berskala internasional sejak tahun 2020. Jaringan kejahatan ini bahkan merambah hingga ke benua Afrika, tepatnya di Afrika Selatan, menunjukkan betapa luasnya jangkauan modus operandi para pelaku.
Direktur Pelindungan WNI Kemlu RI, Judha Nugraha, membeberkan bahwa awalnya para WNI yang terlibat ini hanya terdeteksi di Kamboja. Namun, seiring waktu, jejak mereka menyebar ke tujuh negara lain di kawasan Asia Tenggara. Tidak berhenti di situ, empat negara di luar Asia Tenggara juga menjadi lokasi operasi mereka, yaitu Afrika Selatan, Belarus, dan Uni Emirat Arab. Pola kejahatan yang mereka lakukan ternyata seragam di berbagai lokasi tersebut.
"Tiga negara yang di luar Asia Tenggara itu ada di Afrika Selatan, Belarus, dan juga Uni Emirat Arab, dan polanya sama, " ujar Judha dalam sebuah temu media di Jakarta pada hari Senin (20/10/2025).
Menariknya, tidak semua dari ribuan WNI yang terlibat ini adalah korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Sebagian dari mereka justru memilih untuk bergabung secara sukarela dalam sindikat penipuan daring ini. "Dari 10 ribu dalam catatan kami, hanya sekitar 1.500-an yang merupakan korban TPPO, " terang Judha.
Faktor utama yang mendorong para WNI ini terjun ke dunia penipuan daring adalah iming-iming gaji yang sangat menggiurkan. Bahkan, ada kasus di mana WNI yang sudah memiliki pekerjaan stabil di luar negeri memilih untuk banting setir ke sektor penipuan demi mendapatkan penghasilan yang jauh lebih besar.
Lebih miris lagi, Kemlu RI mendapati adanya pelaku kambuhan yang kembali terlibat dalam aktivitas penipuan daring bahkan setelah mereka berhasil dipulangkan ke Tanah Air. "Contohnya kasus yang ada di Afrika Selatan itu adalah WNI yang sudah pernah kami tangani dari Laos dan Kamboja. Kami pulangkan ke Indonesia, tapi mereka malah berangkat lagi ke Afrika Selatan melalui negara transit, " ungkap Judha dengan nada prihatin.
Judha mengakui bahwa dalam beberapa kasus, pelaku kambuhan ini merasa 'terpaksa' kembali ke dunia hitam tersebut. Hal ini bisa disebabkan oleh ancaman yang mereka terima atau jeratan utang, terutama jika mereka awalnya adalah korban TPPO yang mencoba mencari jalan keluar. Namun, bagi mereka yang secara sadar memilih pekerjaan di sektor ilegal ini, Judha memberikan peringatan keras. Mereka dapat dijerat pidana karena terlibat dalam aktivitas yang dilarang oleh hukum Indonesia.
"Terlebih kalau korbannya orang Indonesia juga, tentu kami akan bekerja sama dengan kepolisian untuk bisa dilakukan penangkapan, " tegasnya, menunjukkan komitmen pemerintah dalam memberantas kejahatan ini. (PERS)