BISNIS - Pengelolaan dana publik merupakan aspek krusial dalam perekonomian suatu negara, terutama dalam menjamin kesejahteraan masyarakat serta stabilitas keuangan negara.
Indonesia memiliki beberapa institusi yang bertugas mengelola dana publik, seperti BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, Taspen, Asabri, dana haji yang dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), serta perusahaan asuransi Jiwasraya.
Namun, berbagai kasus yang mencuat menunjukkan adanya kelemahan dalam tata kelola, transparansi, serta pengawasan terhadap dana-dana ini.
Kini, pemerintah berencana membentuk sovereign wealth fund (SWF) baru bernama Danantara, yang diharapkan mampu mengelola investasi negara secara lebih profesional dan akuntabel.
Namun, dengan adanya berbagai kegagalan pengelolaan dana publik sebelumnya, muncul pertanyaan: apakah Danantara akan lebih baik, atau justru akan mengalami nasib serupa?
Kasus-Kasus Kegagalan Pengelolaan Dana Publik di Indonesia
1. BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan: Defisit dan Masalah Likuiditas
BPJS Kesehatan merupakan program asuransi kesehatan nasional yang bertujuan memberikan perlindungan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Namun, sejak berdiri, BPJS Kesehatan mengalami defisit keuangan yang terus berulang. Penyebab utama defisit ini adalah ketidakseimbangan antara besarnya klaim dan iuran yang diterima, serta inefisiensi dalam pengelolaan dana.
BPJS Ketenagakerjaan juga mengalami permasalahan, terutama dalam hal investasi dana jaminan hari tua (JHT). Pada 2020, kasus dugaan korupsi dalam pengelolaan dana investasi BPJS Ketenagakerjaan terungkap, menyoroti lemahnya pengawasan terhadap investasi yang dilakukan oleh lembaga tersebut.
2. Taspen dan Asabri: Investasi Bermasalah dan Kerugian Triliunan Rupiah
Taspen bertugas mengelola dana pensiun aparatur sipil negara (ASN). Meski tidak banyak terdengar skandal besar, kinerja investasi Taspen kerap dipertanyakan karena kurangnya transparansi dalam mengelola dana pensiun.
Kasus lebih parah terjadi di Asabri, yang mengelola dana pensiun dan asuransi prajurit TNI, Polri, dan ASN di lingkungan Kementerian Pertahanan. Pada 2020, terungkap bahwa dana Asabri mengalami kerugian besar akibat investasi bodong di saham-saham gorengan, dengan total kerugian diperkirakan mencapai lebih dari Rp 22 triliun.
3. Dana Haji: Kurangnya Transparansi dan Risiko Investasi
Dana haji dikelola oleh BPKH dan memiliki nilai yang sangat besar, mengingat setiap tahun jutaan calon jemaah haji menyetor dana untuk keberangkatan mereka. Namun, banyak pihak mengkritik pengelolaan dana haji karena kurangnya transparansi dalam investasi yang dilakukan.
Selain itu, adanya wacana penggunaan dana haji untuk proyek infrastruktur menimbulkan kekhawatiran bahwa dana ini tidak dikelola secara hati-hati dan dapat berisiko tinggi bagi jemaah.
4. Jiwasraya: Skandal Korupsi dan Gagal Bayar
Salah satu kasus terbesar dalam sejarah industri keuangan Indonesia adalah skandal Jiwasraya. Perusahaan asuransi milik negara ini mengalami gagal bayar klaim asuransi dengan total kerugian lebih dari Rp 16 triliun.
Penyebab utamanya adalah mismanajemen investasi, di mana dana nasabah ditempatkan di saham-saham gorengan dan instrumen berisiko tinggi. Skandal ini berujung pada vonis bagi sejumlah pejabat Jiwasraya dan para pelaku pasar modal yang terlibat.
Sovereign Wealth Fund (SWF) dan Tantangan bagi Danantara
Berbagai kegagalan dalam pengelolaan dana publik di atas menunjukkan bahwa manajemen investasi di Indonesia masih menghadapi tantangan besar, terutama dalam hal tata kelola, transparansi, serta pengawasan. Kini, pemerintah berencana mengembangkan Danantara, sebuah sovereign wealth fund (SWF) baru yang bertujuan untuk mengelola investasi negara dengan lebih profesional.
SWF bukanlah konsep baru, dan di berbagai negara, keberhasilannya sangat bervariasi. Singapura dengan Temasek Holdings** dan Norwegia dengan Government Pension Fund Global adalah contoh sukses dalam mengelola dana investasi negara secara transparan dan menguntungkan. Namun, ada pula contoh kegagalan, seperti 1MDB di Malaysia, yang mengalami skandal korupsi besar-besaran.
Untuk memastikan Danantara tidak mengalami nasib yang sama dengan kasus-kasus sebelumnya, ada beberapa hal yang harus diperhatikan:
1. Transparansi dan Akuntabilitas: Pengelolaan SWF harus dilakukan secara transparan, dengan laporan keuangan yang terbuka bagi publik dan diaudit secara independen.
2. Pemilihan Investasi yang Cermat: Dana investasi harus ditempatkan pada instrumen yang jelas dan memiliki tingkat risiko yang terkendali, bukan pada saham-saham spekulatif atau proyek yang berpotensi gagal.
3. Pengawasan Ketat oleh Lembaga Independen: Danantara harus diawasi oleh lembaga independen yang tidak memiliki konflik kepentingan dengan pemerintah atau pihak-pihak yang berinvestasi.
4. Menjaga Integritas Manajemen: Pemimpin Danantara harus dipilih dari kalangan profesional dengan rekam jejak yang baik, bukan berdasarkan kedekatan politik.
Kesimpulan
Kasus BPJS, Taspen, Asabri, dana haji, dan Jiwasraya menunjukkan bahwa pengelolaan dana publik di Indonesia masih menghadapi tantangan serius dalam aspek tata kelola, transparansi, dan investasi.
Dengan rencana pembentukan Danantara sebagai sovereign wealth fund, penting bagi pemerintah untuk belajar dari kegagalan sebelumnya agar dana ini benar-benar dikelola secara profesional dan akuntabel. Jika tidak, Danantara berisiko menjadi tambahan dalam daftar panjang kegagalan pengelolaan dana publik di Indonesia.
Jakarta, 27 Februari 2025
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi