Bali, 6 Desember 2025 – Bali selama ini dikenal sebagai destinasi wisata kelas dunia, namun di balik gemerlap pariwisatanya, Pulau Dewata menyimpan situs heritage budaya Tiongkok yang berusia ratusan tahun. Salah satunya ialah Kelenteng Caow Eng Bio, rumah ibadah Tri Dharma yang berdiri sejak 1548 dan diyakini sebagai kelenteng tertua di Bali.

Terletak di ujung utara Desa Tanjung Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, bangunan tua ini menjadi saksi sejarah keberadaan pelaut Hainan yang dahulu singgah untuk berlindung dari angin barat dan badai laut.
Lokasinya dapat ditempuh sekitar 40 menit perjalanan darat dari pusat Kota Denpasar, berada di antara pemukiman masyarakat dan sejumlah pura umat Hindu, menunjukkan harmoni sosial dan keberagaman Bali sejak masa lampau.
#### Arsitektur Tiongkok yang Kuat, Menjadi Ikon Warisan Budaya
Kelenteng Caow Eng Bio menampilkan arsitektur Tiongkok klasik. Atap melengkung, ornamen naga pada sudut-sudut bangunan, dominasi cat merah-keemasan dengan sentuhan hijau pada gapura dan pagodanya menghadirkan kesan megah dan sakral. Di pintu gerbang luar berdiri shishi – patung singa batu kembar – yang menjadi penjaga spiritual kompleks ibadah tersebut.
Nama Caow Eng Bio terpampang dalam aksara Tionghoa dan latin di atas gerbang utama. Di dalamnya berdiri altar pemujaan Dewi Laut Shui Wei Shen Niang, dewi pelindung pelaut Hainan yang sangat dihormati. Keberadaannya menjadikan kelenteng ini unik, karena menurut catatan sejarah, patung Dewi Laut serupa hanya dapat ditemukan di empat negara lain: Tiongkok, Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Selain Dewi Laut, terdapat pula altar pemujaan Ma Zu (Tian Shang Sheng Mu), 108 Xiongdi Gong (108 Pahlawan Suci), Kwan Im, Cao Eng Kik Liek, serta Dewa Naga.
Keberagaman altar ini menandakan bagaimana Caow Eng Bio berkembang sebagai pusat spiritual etnis Hainan sejak ratusan tahun lalu.
Warisan Berusia Ratusan Tahun, Barang Ibadah Langsung Didatangkan dari Tiongkok
Menurut penuturan Dewan Pertimbangan Kelenteng, Nyoman Suarsana Hardika, Caow Eng Bio awalnya hanyalah bangunan kecil yang digunakan pelaut Hainan untuk bersyukur setelah selamat dari badai. Seiring waktu, bangunan diperluas pada abad ke-19 setelah mendapat hibah lahan dari Raja Badung Ida Cokorda Pemecutan X.
Sejumlah artefak bersejarah masih tersimpan utuh, termasuk lonceng berusia lebih dari 200 tahun dan prasasti batu bertuliskan nama marga para penyumbang yang dibuat di Tiongkok pada 1879 serta dipasang di Tanjung Benoa tahun 1882. Pada era Orde Baru prasasti sempat disembunyikan karena pembatasan budaya Tionghoa, namun kini kembali dipasang dan menjadi bagian penting sejarah Nusantara.
Di halaman utama juga berdiri pagoda, bangsal pertemuan, serta patung perahu berkepala naga. Gerbang luar bergaya gapura Bali menunjukkan akulturasi budaya yang sangat harmonis, menjadikan Caow Eng Bio tak hanya tempat ibadah, tetapi juga objek wisata sejarah dan arsitektur yang memikat banyak pengunjung lintas agama.
#### Perayaan Hari Kelahiran Dewi Laut Digelar Meriah
Pada momentum bersejarah hari ini, umat dan masyarakat Tionghoa merayakan hari kelahiran Dewi Laut Shui Wei Shen. Acara berlangsung meriah dengan parade barongsai sejak tgl 4 s/d 6 Desember 2025 .
Sejumlah grup barong tampil, di antaranya White Tiger, Mutiara Naga, Naga Hijau, dan Naga Mas, berkeliling sepanjang Jalan Segara Lor dan Segara Ening.
Kemeriahan tampak dari kehadiran masyarakat lintas latar belakang yang tumpah ruah menyaksikan parade, berbaur penuh sukacita.
Perayaan besar ini menjadi bukti hidup bahwa Caow Eng Bio bukan hanya peninggalan sejarah, tetapi pusat kehidupan spiritual dan budaya yang terus terjaga oleh waktu.
Rangkaian kegiatan resmi ditutup oleh Kanwil Kementerian Agama Provinsi Bali. Kehadiran pemerintah menjadi wadah penguatan toleransi dan pengakuan bahwa warisan budaya Caow Eng Bio adalah milik bersama, bukan hanya umat Tri Dharma tetapi juga masyarakat Indonesia yang menjunjung Bhinneka Tunggal Ika.
Kelenteng Caow Eng Bio berdiri megah sebagai tafsir bahwa pertemuan budaya dapat hidup harmonis. Bali bukan sekadar wisata – ia adalah panggung sejarah yang berdetak, terjaga, dan tetap menyala hingga kini.
---
**Yanti

















































