Kisah Kelam Pasutri Belanda: Foya-Foya dengan Uang Bank Rp 87 Miliar

4 weeks ago 13

JAKARTA – Impian hidup nyaman dan berkelimpahan harta seringkali mendorong seseorang mengambil jalan pintas. Namun, bagi pasangan suami istri asal Belanda di era kolonial Batavia, keinginan tersebut berujung pada aksi kriminal yang mengejutkan. Mereka adalah A.M. Sonneveld dan istrinya, yang menikmati gaya hidup mewah layaknya bangsawan di kota yang kini kita kenal sebagai Jakarta, pada dekade 1910-an. Kemewahan mereka dibiayai oleh uang hasil curian yang fantastis, mencapai Rp 87 miliar dalam nilai tukar masa kini.

Setiap malam, pasangan ini kerap terlihat menghabiskan waktu di pusat hiburan malam ternama, Societeit Harmoni. Di sana, mereka berpesta pora dengan sajian mahal, seolah tak peduli dengan besarnya pengeluaran. Kehidupan mewah Sonneveld tak pernah menimbulkan kecurigaan sedikit pun di kalangan masyarakat. Bagi banyak orang, ia dikenal sebagai sosok yang sangat berkecukupan, bahkan bergelimang harta.

Sebelum terjun ke dunia kejahatan finansial, Sonneveld pernah mengabdi sebagai perwira KNIL, Tentara Hindia Belanda. Berbagai penugasan berhasil ia jalani, bahkan hingga meraih penghargaan langsung dari Kerajaan Belanda. Setelah pensiun dini, ia melanjutkan kariernya di salah satu bank swasta terbesar saat itu, Nederlandsch Indie Escompto Maatschappij, di mana ia memegang posisi kepala bagian yang bertanggung jawab atas pengelolaan dana nasabah. Besarnya gaji yang ia terima dari posisi ini semakin memperkuat citra dirinya sebagai orang yang sukses.

Riwayat pekerjaan Sonneveld yang terpandang membuat tak seorang pun mencurigai asal-usul kekayaannya. Semua mata mulai tertuju padanya ketika pemberitaan media pada awal September 1913 membongkar tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh seorang pegawai bank di Batavia. Setelah ditelusuri lebih dalam, nama A.M. Sonneveld terkuak sebagai pelaku utamanya.

Harian Deli Courant pada 5 September 1913 melaporkan secara rinci bahwa pria berusia 45 tahun itu terbukti melakukan pencurian uang nasabah sebesar 122 ribu gulden. Pembuktian ini muncul setelah Bank Escompto melakukan investigasi internal menyusul adanya transaksi mencurigakan. Hasil investigasi mengungkap bahwa Sonneveld telah melakukan serangkaian tindakan manipulasi keuangan yang gelap.

Pada tahun 1913, nilai 122 ribu gulden setara dengan 73 kilogram emas, mengingat harga emas per gram saat itu mencapai 1, 67 gulden. Jika dikonversikan ke nilai tukar masa kini, jumlah tersebut setara dengan sekitar Rp 87 miliar, dengan asumsi harga emas per gram mencapai Rp 1, 2 juta.

Menyadari bahwa jejak kejahatannya mulai terendus oleh pihak bank, Sonneveld dan istrinya memutuskan untuk melarikan diri sebelum penetapan tersangka resmi dilakukan. Kepolisian kemudian menetapkan keduanya sebagai buronan dan menyebarluaskan deskripsi fisik mereka melalui berbagai media massa. Laporan de Sumatra Post tertanggal 6 September 1913 merinci ciri-ciri fisik Sonneveld, termasuk kulit coklat, berdarah Belanda, bekas luka di pipi kanan dan lutut, serta usianya yang saat itu 45 tahun.

Upaya penyebaran informasi ini akhirnya membuahkan hasil. Pasangan suami istri tersebut berhasil dideteksi berada di Bandung, setelah melakukan perjalanan menggunakan kereta api dari Meester Cornelis (kini Jatinegara). “Polisi mendeteksi dia menyewa mobil dari Meester Cornelis dan pergi ke hotel di Bandung, ” tulis seorang pewarta dari Deli Courant.

Namun, pelarian mereka belum berakhir di Bandung. Dari sana, pasangan ini melanjutkan perjalanan ke Surabaya, kembali menggunakan kereta api. Harian Bataviaasch Nieuwsblad pada 7 September 1913 melaporkan bahwa selama perjalanan, Sonneveld sempat bertemu dengan seorang teman yang menanyakan tujuan perjalanannya. Kepada temannya, buronan dari Batavia ini mengaku akan pergi ke Hong Kong setelah tiba di Surabaya, dengan dalih melakukan studi banding ke cabang Bank Escompto di sana. Namun, temannya yang mengetahui gelagat aneh Sonneveld segera melaporkan hal tersebut kepada pihak kepolisian.

Menindaklanjuti laporan tersebut, kepolisian Hindia Belanda segera menghubungi pihak kepolisian Hong Kong. Tak lama setelah menginjakkan kaki di daratan Hong Kong, Sonneveld dan istrinya berhasil diciduk oleh polisi dan kemudian diekstradisi kembali ke Hindia Belanda. Bersama mereka, turut disita sebuah tas yang berisi sisa uang hasil pencurian.

Setibanya di Indonesia, keduanya langsung menjalani proses pengadilan. Di hadapan majelis hakim, Sonneveld mengaku bahwa ia nekat mencuri uang nasabah semata-mata untuk memenuhi hasrat hidup mewah. Sang istri pun mengakui keterlibatannya dalam menutupi tindakan suaminya.

Sebagai konsekuensinya, Sonneveld dijatuhi hukuman 5 tahun penjara. Sementara itu, istrinya harus menjalani masa hukuman selama 3 bulan di balik jeruji besi. Kasus Sonneveld ini kemudian tercatat dalam catatan sejarah sebagai salah satu kasus pencurian terbesar di era 1910-an. (PERS)

Read Entire Article
Karya | Politics | | |