OPINI - Tahun 2025 membawa angin segar bagi dunia usaha Indonesia. Di tengah tekanan global seperti perlambatan ekonomi, disrupsi teknologi, dan perubahan iklim, justru muncul peluang-peluang baru, terutama di wilayah pinggiran. Siapa pun yang mampu membaca arah zaman, bersedia beradaptasi, dan bertindak cepat, bisa menciptakan jalan suksesnya sendiri.
Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5 persen tahun ini. Stabil, namun belum cukup untuk mendorong jutaan orang keluar dari sektor informal. Di sinilah UMKM kembali menjadi tumpuan. Namun, tantangan mereka kini bukan hanya soal akses modal, tapi soal adaptasi terhadap perubahan yang bergerak cepat.
Lanskap usaha telah berubah. Modal besar dan pengalaman panjang tak lagi menjamin keberhasilan. Justru keberanian dan kreativitas jadi aset utama. Seperti pemuda dari Kulon Progo yang mengekspor batik lewat TikTok, atau ibu rumah tangga di Tapanuli yang membuka kelas masak berbayar dan ditonton ribuan orang setiap minggu, dan beratus-ratus 'sukses story' lainnya yang membukakan "aura positif".
Fenomena ini mencerminkan pergeseran besar dalam pola konsumsi dan produksi. Konsumen kini tidak hanya mencari harga murah, tapi juga nilai, cerita (story telling), dan kepercayaan. Inilah peluang bagi pelaku usaha yang sanggup menjual lebih dari sekadar produk.
Survei 'Katadata Insight Center' mencatat bahwa 32 persen generasi muda kini memperoleh penghasilan dari aktivitas digital seperti konten kreator, pelatihan online, hingga reseller berbasis komunitas. Pertumbuhannya mencapai 18 persen dibanding tahun lalu dan diperkirakan menjadi pilar ekonomi lima tahun mendatang.
Namun, kreativitas saja tidak cukup. Teknologi kecerdasan buatan (AI) kini menjangkau hampir semua lini usaha: chatbot, konten otomatis, hingga perencana keuangan. Perusahaan seperti Mekari, Sirclo, dan Aruna telah mengintegrasikan AI dalam model bisnis mereka. Bahkan pelaku UMKM pun mulai menggunakan ChatGPT atau Copilot untuk membuat konten, menulis deskripsi produk, dan menjawab pertanyaan pelanggan secara otomatis.
"Yang bertahan bukan yang paling kuat, tapi yang paling adaptif, " ujar Prof. Rhenald Kasali. Teknologi kini menjadi milik semua, membuka jalan bagi demokratisasi inovasi.
Nilai dan keinginan konsumen pun ikut bergeser. Kesadaran iklim yang meningkat membuat produk ramah lingkungan dan proses produksi berkelanjutan semakin diminati. Pemerintah merespons dengan kebijakan seperti insentif pajak bagi UMKM yang menerapkan prinsip ESG, serta dorongan pembiayaan lunak untuk bisnis hijau dari OJK.
Tapi semua peluang itu masih terbentur tantangan klasik: akses terhadap modal, infrastruktur digital, dan pendidikan kewirausahaan. BPS mencatat baru 54 persen UMKM yang aktif secara digital. Ketimpangan kota-desa dan antarwilayah masih nyata. Peran negara harus lebih dari sekadar slogan.
"Pelatihan harus berkelanjutan dan berbasis lokalitas, bukan insidental, " kata Nurul Amalia, analis UMKM dari UI. Regulasi juga harus berubah menjadi pendorong, bukan penghambat—baik dalam hal izin, pajak, maupun perlindungan hukum.
Lebih dari infrastruktur, dunia usaha butuh narasi baru: bahwa berwirausaha adalah pilihan utama, bukan alternatif. Bahwa semua orang punya ruang di dunia usaha, bukan hanya mereka yang bermodal besar.
Kini, narasi itu mulai tumbuh. Tak selalu tampak di media, tapi terasa nyata di lapak pasar, di balik 'laptop bekas' di desa, di komunitas kecil yang saling belajar. Dunia usaha Indonesia bukan hanya milik gedung pencakar langit, tapi milik siapa saja yang berani mencoba dan terus tumbuh.
Yang dibutuhkan kini bukan lagi banyak seminar, tapi keberpihakan nyata. Kepada pelaku kecil, pemula, dan mereka yang ingin berkembang.
Bangsa yang besar bukan yang bebas dari rintangan, melainkan yang bisa menjadikan tantangan sebagai batu loncatan. Tahun 2025 adalah momentum. Tinggal bagaimana kita menyambutnya—dengan kebijakan yang berpihak, masyarakat yang saling mendukung, dan pelaku usaha yang terus belajar.
Dalam dunia yang terus berubah, stagnasi adalah ancaman. Tapi keberanian dan kolaborasi adalah harapan. Dan harapan itu kini tumbuh di mana-mana.
Oleh: Indra Gusnady, SE, MM (Pengamat Kebijakan Publik & Perencanaan Kota / Kepala Badan Keuangan Daerah Kabupaten Solok)