Prof. Mia Amiati : Ketika Kita Tersakiti, Gusti Allah Tidak Tidur

6 hours ago 1

Jakarta - Apakah kita pernah menjadi orang yang menyakiti orang lain?. Atau sebaliknya kita menjadi orang yang tersakiti ?. Ketika kita tersakiti termasuk ketika adanya fitnah yang keji, kita harus meyakini bahwa Gusti Allah tidak tidur.

Kalimat "Ketika kita tersakiti, Gusti Allah tidak tidur" mengandung makna yang sangat mendalam dan penuh harapan. Ungkapan ini pada dasarnya adalah penegasan tentang sifat-sifat Tuhan yang Maha Melihat, Maha Mendengar, dan Maha Adil, terutama di saat-saat hamba-Nya mengalami penderitaan atau ketidakadilan.

Ada beberapa makna penting yang bisa dipetik dari Frasa "Ketika kita tersakiti, Gusti Allah tidak tidur", yaitu:

1. Jaminan Keadilan Ilahi
Kalimat ini menegaskan bahwa tidak ada kezaliman atau perbuatan buruk yang luput dari pengawasan Tuhan. Meskipun kita tidak melihat pembalasan yang instan, kita percaya bahwa pada akhirnya keadilan akan ditegakkan. Baik di dunia maupun di akhirat, Tuhan akan memberikan ganjaran yang setimpal.

2. Pengharapan Bagi Yang Terzalimi.
Bagi orang yang tersakiti, ungkapan ini menjadi sumber pengharapan dan kekuatan. Ini mengingatkan bahwa kita tidak sendirian. Ada kekuatan yang jauh lebih besar yang melihat dan memahami penderitaan kita. Ini dapat mencegah kita dari rasa putus asa dan keinginan untuk membalas dendam dengan cara yang salah.

3. Peringatan Bagi Yang Berbuat Zalim.
Sebaliknya, bagi pelaku kezaliman, kalimat ini adalah peringatan yang tegas. Meskipun mereka merasa aman dan berhasil, mereka tidak bisa lari dari pandangan Tuhan. Cepat atau lambat, setiap perbuatan akan dipertanggungjawabkan.

4. Peningkatan Kesabaran Dan Tawakal.
Dalam menghadapi rasa sakit, ungkapan ini mendorong kita untuk bersabar dan menyerahkan segala urusan kepada Tuhan. Dengan memahami bahwa Tuhan Maha Melihat, kita bisa lebih ikhlas menerima keadaan dan percaya bahwa ada hikmah di baliknya. Ini adalah bagian dari proses pendewasaan spiritual.

5. Pengakuan Atas Keterbatasan Manusia.
Sebagai manusia, kita memiliki banyak keterbatasan. Kita bisa lelah, kecewa, dan terkadang merasa tidak berdaya. Sementara itu, Tuhan adalah zat yang Maha Sempurna, yang tidak pernah lalai, mengantuk, apalagi tidur, seperti dijelaskan dalam Ayat Kursi (Al-Baqarah: 255). Ungkapan ini adalah pengakuan akan kebesaran-Nya dan keterbatasan kita.

6. Motivasi Untuk Introspeksi Diri.
Meski kalimat ini sering digunakan untuk orang yang menzalimi kita, sebaiknya kita juga menggunakannya untuk introspeksi diri. Apakah kita pernah menjadi orang yang menyakiti orang lain? Jika ya, ungkapan ini mengingatkan kita untuk segera memohon ampun dan memperbaiki diri sebelum terlambat.

Secara keseluruhan, memaknai "Ketika kita tersakiti, Gusti Allah tidak tidur" berarti memegang teguh keyakinan pada keadilan Illahi, menjadikan penderitaan sebagai jalan untuk bersabar dan bertawakal, serta mengambil hikmah untuk terus memperbaiki diri.

Tuhan Tak Pernah Tidur
Pada saat-saat tertentu, kalimat "Tuhan tidak pernah tidur" terdengar sangat teduh dan seolah mampu mencabut hampir separuh beban hidup. Dalam alam bawah sadarnya, manusia beriman memang dapat dengan haqqul yaqin mengaktualisasikan kalimat ini dalam konteks keseharian.

Yang menarik serta hampir bisa dipastikan, kemunculan kalimat itu dalam kesadaran diri manusia cenderung insidentil dan mencerminkan potensi psikologisnya yang khas. Bisa dibilang, kalimat itu muncul sebagai salah satu tindak bahasa manusia, sangat konotatif. Dan biasanya, kalimat itu tercetus dengan perasaan pahit, sedih dan getir.

Yang jelas ketika itu simplifikasinya manusia berada dalam posisi tidak diuntungkan, didzalimi, pasrah, hampir kalah, dan situasi pelik lain yang terlihat mustahil bagi manusia untuk dapat diselesaikan.

Dibalik itu muncul sosok “merasa paling Sempurna” yang terkesan sangat dimonopoli oleh si pecundang yang dengan keji mendzolimi kita dan sangat luar biasa karena kelihaiannya banyak meyakinkan orang lain bahwa dia yang benar, semua fakta diputarbalikkannya.

Orang dzolim ini merasa dia yang benar, dan ribuan kalimat imajiner lain yang dia miliki semakin meyakininya bahwa dialah pemenangnya karena makna denotatifnya dikuasai oleh si pecundang.

Kita sering merasa doa tertahan, ujian terasa berat, hingga muncul prasangka bahwa Allah menjauh. Padahal Allah berfirman:"Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya" sebagaimana tertuang di dalam Surat Al-Qaf ayat 16.

Kadang kita lelah. Langkah terasa berat, hati ingin menyerah. Namun bukankah hidup memang ujian? Allah taala berfirman, sebagaimana tertuang di dalam surat Al Ankabut ayat 2 : Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan:"Kami terlah beriman", sedangkan mereka tidak diuji lagi?

Maka rasa sakit, tangis, dan jatuh bangun kita-semua adalah bagian dari tarbiah Allah untuk menguatkan iman. Rasullullah SAW bersabda:"Sesungguhnya Allah apabila mencintai suatu kaum, Dia akan menguji mereka."(HR. Tirmidzi).

Bahkan usaha sekecil apapun, setiap tetes air mata dan doa lirih di sepertiga malam, tak ada yang sia-sia di sisi Allah karena Allah taala berjanji,

"Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka." (QS. At-Talaq:2-3).

Pada titik selanjutnya terlihat bahwa, kalimat "Tuhan tidak tidur" kurang lebih hanya menjadi salah satu bentuk tindakan manusia yang konotasinya tidak menampilkan hakikat kalimatnya. Makna yang ditimbulkan pun tidak terikat, tergantung posisi dan kegunaan, sedang mencari keadilan kah, atau terhimpit ekonomi kah, menghadapi fitnah kah, dan lain-lain.

Dan, jika bicara kegunaan serta posisinya, sepintas terasa kalimat itu tidak terdeskripsi dengan jelas. Jika kalimat itu muncul dalam sinetron hari ini, niscaya penonton akan dibuat geram karena bersamaan dengan itu ada tokoh protagonis yang sedang nelangsa ditimpa musibah dahsyat, bisa jadi disebabkan serangan dari tokoh antagonis.

Biasanya, oleh sutradara dramatisasi kalimat itu diletakkan sebelum titik klimaks. Sayangnya dunia manusia dan bahasanya tidak berada dalam tataran logika sinetron, yang punya ribuan cara untuk mengeluarkan Tuhan dari mesin cetaknya dengan rating dan iklan sebagai titik pijaknya.

Sebenarnya fitrah manusia memang lemah, hina, tak berdaya sehingga butuh sebuah pertolongan. Dalam ilmu tassawuf hal ini menjawab pernyataan Feuerbach, sekaligus membalik paradigma antropologis barat umumnya yang berbunyi "aku berpikir maka aku ada" dengan "aku tidak ada maka Dia ada". Masalahnya, tidak ada kejelasan posisi aku sebagai mahkluk dan Dia sebagai Tuhan dalam kalimat itu.

Di sini saya bukan bermaksud untuk mendikotomiskan antara takdir dengan ikhtiar, antara berdzikir dan berpikir. Melainkan sekedar urun rembug tentang bagaimana memahami kedua hal itu sekecil apapun tindakannya. Apalagi kedua hal tersebut tidak boleh ditinggal salah satunya.

Pada kalimat itu jelas ada sebuah tindak dzikir, ingat kepada Tuhan. Idealnya hal ini patut diimbangi dengan intuisi, pengetahuan tentang konsep, kebenaran dan pemecahan masalah dalam kegiatan berpikir dan meyakini bahwa siapapun yang telah berbuat dzolim pasti Tuhan akan memberi peringatan dengan cara Nya dengan Kuasa Nya.

“Sesungguhnya Allah tidak pernah tidur dan tidak seharusnya Allah tidur”
“Sesungguhnya Allah tidak pernah tidur dan tidak seharusnya Allah tidur. Dia berkuasa menurunkan timbangan amal dan mengangkatnya. Kemudian akan diangkat kepada-Nya (maksudnya dilaporkan) segala amalan pada waktu malam sebelum (dimulai) amalan pada waktu siang, dan begitu juga amalan pada waktu siang akan diangkat kepada-Nya sebelum (dimulai) amalan pada waktu malam.

Hijab-Nya adalah Cahaya. (Menurut riwayat Abu Bakar: api) Andaikata Dia menyingkapkannya, pasti keagungan Wajah-Nya akan membakar makhluk yang dipandang oleh-Nya.”

Ada lima kaidah penting dari hadits tersebut di atas, yaitu :
Pertama, kita yakin bahwa Allah tidak lalai dan tidak pernah tidur. Kita bisa berdoa sepanjang waktu, kapan saja kita mau. Orang yang sedih di waktu malam lalu berdoa, orang yang meminta menjelang subuh, ada yang berdoa setelah subuh, ada yang berdoa saat akan berangkat kerja, ada yang kesilitan di siang hari lalu berdoa, ada yang berharap agar urusan selesai hari itu juga, semuanya dilayani langsung oleh Allah.

Kedua, Allah berkuasa menurunkan dan berkuasa mengangkat timbangan amal. Kalau tim auditor, tidak bisa mengurangi atau menambah penilaian dalam sebuah pemeriksaan. Kapan dia menilai atau mengurangi penilaiannya, pada saat itu juga dia berlaku curang.

Ketiga, amalannya akan diangkat kepada-Nya. Maksudnya akan dilaporkan segala amalan pada waktu malam, sebelum dimulai amalan pada waktu siang. Perbanyaklah beramal saleh. Catatan kebaikan itu tidak akan ditunda-tunda.

Keempat, hijabnya adalah cahaya. Pembatas Allah SWT adalah cahaya. Semakin dekat kepada Allah semakin dekat dan semakin cepat kita mendapatkan cahaya-Nya.

Kelima, andaikata cahaya itu disingkap, pasti keagungan wajah-Nya akan membakar semua makhluknya. Allahu Akbar.

Maka teruslah mencoba, meski terjatuh berkali-kali. Sebab Allah tidak melihat seberapa sering kita jatuh, tapi seberapa tulus kita kembali berpasrah kepada Illahi Robbi.

Penulis: Prof (HCUA) Dr. Mia Amiati, S.H., M.H., CMA. CSSL.

Read Entire Article
Karya | Politics | | |