Resistensi Pegawai dan Kompleksitas Regulasi, Hambatan Utama Transformasi Digital

4 days ago 10

OPINI - Baru-baru ini, para ilmuwan di Tiongkok mengungkap sebuah terobosan teknologi yang mencengangkan, agen kecerdasan buatan bernama Manus, yang mampu mengambil keputusan secara mandiri tanpa instruksi spesifik dari manusia (Kompas, 17 Maret 2025). 

Inovasi ini bukan sekadar lompatan teknis, tetapi simbol kemajuan menuju era Artificial General Intelligence (AGI) di mana AI tidak hanya mengeksekusi perintah, tetapi juga mampu berpikir, belajar, dan bertindak layaknya manusia.
Kemunculan Manus menjadi penanda bahwa dunia tidak lagi berspekulasi tentang masa depan digital, melainkan sedang mengalaminya. 

Negara-negara yang tidak siap beradaptasi akan tertinggal, bukan karena tidak memiliki teknologi, tetapi karena gagal membenahi budaya birokrasi, struktur regulasi, dan strategi penganggaran.
Resistensi Pegawai terhadap Transformasi Digital
Namun dalam konteks birokrasi Indonesia, laju transformasi digital menghadapi hambatan internal yang tidak bisa dianggap sepele: resistensi pegawai. 

Perubahan teknologi sering kali memunculkan rasa takut akan kehilangan pekerjaan, ketidakpahaman terhadap sistem baru, dan keterbatasan keterampilan digital. 

Dalam kasus adopsi AI seperti Manus, kekhawatiran itu makin kuat pegawai mungkin merasa peran mereka tergeser, menciptakan penolakan diam-diam atau bahkan terang-terangan terhadap proses transformasi.

Tanpa pendekatan yang humanis dan strategis, transformasi digital bisa menjadi proyek teknologi semata yang gagal menyentuh inti dari perubahan budaya organisasi.

Kompleksitas Regulasi sebagai Penghambat

Selain faktor internal, faktor struktural berupa kompleksitas regulasi juga menjadi batu sandungan serius. Banyak regulasi yang belum mampu mengikuti cepatnya perkembangan teknologi. Ketika regulasi tertinggal dari inovasi, instansi pemerintah ragu bertindak. 

Ketidakjelasan norma hukum menciptakan grey area yang justru menahan laju perubahan.
Situasi ini diperburuk oleh budaya birokrasi yang cenderung kaku dan prosedural. Alih-alih menjadi fasilitator, regulasi yang tidak adaptif berpotensi menjadi penahan utama inovasi digital.

Tantangan Baru: Efisiensi Anggaran
Lebih jauh, muncul tantangan baru yang tak kalah krusial: efisiensi anggaran. Melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025, pemerintah menetapkan target efisiensi belanja negara hingga Rp306 triliun, termasuk pemangkasan belanja operasional dan pengadaan infrastruktur.

Hal ini menimbulkan pertanyaan fundamental:
Bagaimana transformasi digital yang membutuhkan investasi jangka panjang dapat dijalankan dengan anggaran yang sedang ditekan secara besar-besaran?

Digitalisasi bukan hanya soal membeli perangkat atau sistem. Ia menuntut investasi pada pelatihan, penguatan sistem keamanan data, pengembangan infrastruktur digital, dan pendampingan perubahan budaya kerja. Jika efisiensi dilakukan tanpa strategi, maka bisa berujung pada pembatasan ruang inovasi.

Maka, pertanyaan-pertanyaan kritis pun mencuat:
Apakah efisiensi anggaran berarti memangkas belanja teknologi yang sebenarnya strategis?

Bagaimana memastikan efisiensi tidak menghambat inovasi, tetapi justru menjadi alat untuk mengarahkan anggaran ke program digital yang benar-benar berdampak?

Apakah mekanisme pengawasan anggaran telah cukup kuat untuk memilah belanja yang perlu ditekan dan belanja yang justru harus dipertahankan demi keberhasilan transformasi digital?

Belajar dari China: Sinergi Teknologi, Regulasi, dan Budaya
Pengalaman China menunjukkan bahwa keberhasilan transformasi digital tidak hanya bertumpu pada kecanggihan teknologi, tetapi pada kesiapan budaya organisasi dan fleksibilitas regulasi. 

Dukungan politik yang kuat, regulasi yang responsif, serta alokasi anggaran yang fokus menjadikan inovasi seperti Manus tidak hanya mungkin, tetapi nyata.
Indonesia perlu menempuh pendekatan serupa menyeimbangkan visi efisiensi fiskal dengan kebutuhan strategis untuk berinovasi. 

Pemotongan anggaran harus dibarengi dengan penajaman fokus: mengurangi belanja seremonial dan administrasi, tetapi tetap melindungi belanja teknologi dan SDM digital.

Jalan ke Depan: Efisiensi Bukan Hambatan, tapi Alat Strategis
Transformasi digital pemerintahan tidak akan berhasil jika dipandang sebagai proyek teknologi saja. Ia adalah gerakan perubahan total, yang menuntut kesiapan SDM, regulasi yang adaptif, dan anggaran yang dialokasikan dengan cerdas.

Efisiensi bukanlah penghalang inovasi asal dilakukan dengan strategi dan visi jangka panjang. Pemerintah harus berani menyusun ulang prioritas anggaran dan memastikan bahwa setiap rupiah belanja diarahkan pada pencapaian hasil yang terukur, bukan pada pengulangan kegiatan yang tidak berdampak.

Dengan sinergi antara semangat efisiensi dan komitmen terhadap transformasi digital, Indonesia bisa melangkah maju. Bukan sekadar mengejar ketertinggalan, tetapi menjadi pemimpin dalam pemerintahan digital yang efisien, adaptif, dan berorientasi hasil.

Barru 24 Maret 2025,
Opini Oleh Dr. Kasmiah Ali, S.Sos., M.A.P

Read Entire Article
Karya | Politics | | |