JAKARTA - Kekecewaan mendalam dirasakan ribuan calon peserta program Work and Holiday Visa (WHV) akibat kelambanan dan ketidakstabilan sistem digital Direktorat Jenderal Imigrasi. Anggota Komisi XIII DPR RI, Muhammad Shadiq Pasadigoe, angkat bicara, mendesak perbaikan segera atas sistem Surat Dukungan untuk Work and Holiday Visa (SDUWHV) yang dinilai menghambat para pelamar.
“Kita akan memastikan evaluasi sistem digital di Imigrasi dilakukan menyeluruh. Kami ingin pelayanan publik lebih akuntabel, transparan, dan tahan gangguan teknis, ” ujar Shadiq dalam keterangannya di Jakarta, Kamis. Ia menegaskan komitmen DPR untuk menindaklanjuti masalah ini dengan meminta penjelasan resmi dari pihak Imigrasi.
Shadiq menyayangkan adanya perubahan syarat administrasi yang mendadak tanpa pengumuman publik yang memadai. Menurutnya, hal ini mencederai prinsip transparansi pelayanan publik yang seharusnya memudahkan masyarakat, bukan justru menimbulkan kebingungan dan kekecewaan.
“Program SDUWHV seharusnya membuka peluang bagi anak muda menimba pengalaman di luar negeri, bukan mempersulit mereka, ” tegasnya, menekankan bahwa setiap perubahan kebijakan harus diumumkan melalui kanal resmi agar tidak merugikan masyarakat. Ia berharap pelayanan keimigrasian dapat berjalan profesional dan berpihak kepada rakyat, terutama generasi muda.
Sebelumnya, sekitar 29.000 pelamar WHV menyuarakan kekecewaan mereka di media sosial. Mereka mengeluhkan sistem online Imigrasi yang tidak stabil sejak Rabu (15/10) pagi, menyebabkan kegagalan dalam mengunggah dokumen penting. Kesulitan ini dirasakan kian pelik mengingat kuota yang terbatas, hanya 5.420 orang dari total pendaftar yang mencapai 1, 4 juta.
Selama 12 jam proses pendaftaran, hanya sekitar 80 pelamar yang berhasil menyelesaikan unggahan dokumen. Kondisi ini memicu kekesalan luas, menunjukkan lemahnya kesiapan sistem Imigrasi dalam menghadapi lonjakan akses. Tak hanya itu, para pelamar juga menemukan perubahan mendadak pada persyaratan, seperti kenaikan dana minimum di rekening koran dari 5.000 AUD menjadi Rp60 juta, serta perubahan syarat nilai IELTS yang kini mewajibkan skor 4.5 di setiap aspek, bukan hanya rata-rata.
“Banyak yang gagal karena tidak tahu aturan baru itu, ” ungkap seorang peserta dari Jakarta dengan nada kecewa, menggambarkan betapa perubahan mendadak ini berdampak signifikan pada kesempatan mereka untuk meraih pengalaman internasional. (PERS)