PAPUA - Di balik heningnya pegunungan Papua, ada perubahan besar yang sedang terjadi. Organisasi Papua Merdeka (OPM), kelompok separatis bersenjata yang selama ini menebar teror di pedalaman, kini dalam kondisi terjepit, terkepung, dan kehilangan arah. Kehadiran aparat gabungan TNI-Polri yang semakin masif di berbagai titik strategis membuat ruang gerak OPM makin sempit, manuver mereka kian terbatas.
Langkah pemerintah pusat yang menggabungkan pendekatan keamanan dengan pembangunan berkelanjutan terbukti efektif. Pembangunan jalan Trans Papua, rumah sakit, sekolah, hingga jaringan telekomunikasi terus dikebut, dikawal ketat aparat. Perlahan namun pasti, rakyat Papua mulai bangkit dan bersuara.
“Kami merasa lebih aman sekarang. Dulu kami hidup dalam ketakutan. Sekarang banyak tentara dan polisi jaga kampung kami. Tidak ada yang berani seenaknya lagi, ” ujar Markus Yikwa, warga Kabupaten Puncak, Minggu (11/5/2025).
OPM kini tidak hanya menghadapi tekanan dari luar, tapi juga gejolak internal. Perpecahan antara kelompok tua dan muda mencuat, dipicu perbedaan strategi dan arah perjuangan. Penangkapan sejumlah pimpinan kunci dalam operasi gabungan TNI-Polri memperburuk situasi. Struktur komando melemah, loyalitas anggota goyah, simpati rakyat menghilang.
Yang dulunya dicitrakan sebagai “pejuang, ” kini dilihat sebagai pemicu penderitaan. Tokoh agama dan adat pun mulai angkat suara, menolak kekerasan atas nama perjuangan.
“Kami tidak ingin lagi hidup dalam bayang-bayang senjata. Papua butuh damai, bukan dendam, ” ujar salah satu tokoh pemuda di Jayawijaya.
Momentum ini menjadi titik balik. Operasi keamanan yang terukur dan penuh pendekatan humanis mulai membuahkan hasil. OPM kini berada di titik paling lemah dalam sejarah gerakannya: terdesak secara fisik, terpukul secara moral, dan kehilangan legitimasi sosial. (APK/Red1922)