Hal itu disampaikan melalui kuasa hukumnya usai sidang perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Semarang, dan juga dikonfirmasi kembali oleh pihak Redaksi di Jakarta melalui WhatsApp pada Selasa (23/12/2025).
“Pak Babay tidak pernah bertemu, tidak mengenal, tidak pernah melakukan komunikasi, baik langsung maupun tidak langsung, dengan pihak PT Sritex. Beliau juga bukan pihak yang menawarkan kredit dan melakukan pencairan kredit, ” ujar kuasa hukum Babay.
Babay menjadi terdakwa dalam perkara pemberian fasilitas Kredit Modal Kerja (KMK) kepada Sritex senilai Rp150 miliar pada 2020. Namun, tim kuasa hukum menegaskan kewenangan Babay terbatas pada fungsi pengambilan keputusan kredit sesuai prosedur internal Bank DKI.
Pada saat itu, Babay menjabat sebagai Direktur Kredit UMK dan Usaha Syariah sekaligus Direktur Keuangan Bank DKI, serta menjadi salah satu anggota Komite Kredit Kategori A2.
Komite Kredit A2 terdiri dari tiga pejabat, yakni Direktur Utama, Direktur Teknologi dan Operasional, serta Babay. Seluruh keputusan kredit diambil secara kolektif berdasarkan analisis teknis yang disusun unit kerja terkait, termasuk Grup Kredit Menengah dan Grup Risiko Kredit.
Analisis tersebut dituangkan dalam Memorandum Bisnis Kredit (MBK) dan Memorandum Analisa Kredit (MAK). Dokumen itu menyimpulkan bahwa plafon kredit Rp150 miliar masih berada di bawah kebutuhan modal kerja Sritex yang dihitung mencapai lebih dari Rp351 miliar.
Dalam surat dakwaan, laporan keuangan yang kemudian dikaitkan dengan rekayasa disebut sebagai tanggung jawab internal Sritex dan dilakukan oleh jajaran direksi perusahaan. Tim kuasa hukum Babay menegaskan tidak ada satu pun uraian dakwaan yang menyebut kliennya memperoleh keuntungan pribadi dari fasilitas kredit tersebut.
“Dalam dakwaan tidak ditemukan uraian mengenai keuntungan pribadi yang diterima Babay dari fasilitas kredit tersebut, ” ujar kuasa hukum.
Dakwaan juga memuat bahwa Bank DKI telah menjalankan prinsip kehati-hatian secara administratif. Proses penilaian kepatuhan dilakukan oleh Grup Kepatuhan, sedangkan aspek legal ditelaah oleh Grup Hukum.
Dalam catatan kepatuhan, Sritex disebut tidak memenuhi kriteria Debitur Prima karena tidak memiliki peringkat investment grade. Catatan tersebut dicantumkan secara terbuka dalam dokumen pengusulan kredit dan menjadi dasar permintaan persetujuan khusus kepada Komite Kredit A2.
Kuasa hukum Babay menilai hubungan hukum antara bank dan debitur merupakan hubungan perdata yang mengandung risiko bisnis. Kredit macet, menurut mereka, bukan peristiwa pidana, melainkan konsekuensi usaha yang dapat diselesaikan melalui mekanisme perdata, seperti restrukturisasi, eksekusi jaminan, atau gugatan wanprestasi.
Dalam sidang perdana, Babay dan tim kuasa hukum mengajukan eksepsi. Alasan yang diajukan antara lain dakwaan kabur (obscuur libel), kesalahan subjek hukum (error in persona), berkas perkara yang dinilai tidak lengkap, serta keberatan atas kompetensi absolut dan relatif.
Menurut kuasa hukum, persetujuan kredit dilakukan di Jakarta sehingga locus perkara seharusnya berada di wilayah hukum Jakarta, bukan Semarang.
Selain itu, dakwaan juga menguraikan bahwa dugaan pelanggaran utama berupa rekayasa laporan keuangan dan invoice dilakukan oleh pihak Sritex jauh sebelum kredit dicairkan. Kerugian negara yang dihitung Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebesar Rp180, 28 miliar dikaitkan dengan kegagalan pembayaran kredit oleh Sritex, bukan adanya aliran dana kepada Babay.
Sidang perkara ini akan dilanjutkan dengan agenda pemeriksaan saksi dan alat bukti. Berita ini juga telah tayang di beberapa media online lainnya.
Kuasa hukum Babay menegaskan pihaknya akan membuktikan bahwa kliennya telah bekerja sesuai prosedur perbankan serta tidak memiliki peran aktif maupun niat jahat dalam perkara yang didakwakan. *

















































