Dari Bendungan ke Blockchain: Revolusi Sunyi di Sungai Nil

10 hours ago 3

OPINI -   Awal tahun 2025 mencatat bab baru dalam sejarah dunia. Bukan karena perang atau revolusi politik, melainkan karena sebuah negara miskin di Afrika bernama Ethiopia menantang sistem keuangan global. Di tengah dunia yang masih ragu terhadap kripto, negeri di jantung Tanduk Afrika itu mengumumkan keputusan berani: membuka kembali izin penambangan Bitcoin yang sempat dibekukan dua tahun.

Sekilas, ini mungkin terdengar seperti berita ekonomi biasa. Tapi sesungguhnya, ini adalah letusan geopolitik. Ethiopia menambang uang dari air. Dari Bendungan Renaisans di Sungai Nil Biru, mereka menyalurkan energi listrik berlebih untuk menggerakkan ribuan mesin penambang Bitcoin. Air yang dulu hanya menghidupi ladang, kini menghidupi ekonomi digital. Dari sungai yang dulu menjadi sumber konflik, kini lahir sumber kedaulatan baru.

Langkah ini terasa seperti tamparan bagi Barat, yang terbiasa melihat Afrika sebagai penerima bantuan, bukan pencipta revolusi. Ethiopia membalik peta, menulis ulang aturan ekonomi global. Bukan dari euforia, tapi dari keputusasaan yang diolah menjadi tekad. Bertahun-tahun mereka hidup di bawah tekanan utang luar negeri dan intervensi lembaga keuangan internasional. Setiap kali hendak bernafas, selalu ada syarat dan batas.

Hingga akhirnya, Perdana Menteri Abiy Ahmed berkata kalimat yang mengguncang dunia: “Jika Barat menambang emas dari tanah, maka kami akan menambang emas dari air.” Krisis yang nyaris menenggelamkan negeri itu justru melahirkan revolusi. Pemerintah menyadari bahwa air dan daya adalah aset finansial yang tak ternilai di era digital. Dunia haus energi murah, dan Bitcoin haus listrik. Maka mereka menjual apa yang dimiliki secara melimpah: air yang mengalir dari Sungai Nil.

Kini, Bendungan Renaisans berdiri megah—simbol kedaulatan dan harga diri. Dunia Barat dulu meremehkannya. Mereka yakin Ethiopia tak punya modal, tak punya teknologi. Tapi rakyatnya bersatu, membeli obligasi nasional, membangun bendungan itu tanpa satu dolar pun pinjaman asing. Ketika malam tiba, cahaya biru dari turbin raksasa di Sungai Nil Biru tampak seperti aurora yang menyalakan mimpi bangsa.

Listrik dari air itu kini menggerakkan ribuan mesin penambang Bitcoin. Air berubah menjadi listrik, listrik menjadi uang digital, dan uang digital menjadi kedaulatan—setidaknya begitu mereka berharap. Dunia menyebutnya eksperimen gila. Tapi bagi Ethiopia, ini adalah pembalasan sejarah: setelah berabad-abad menjadi korban eksploitasi, mereka kini menentukan harga permainan.

Beberapa bulan setelah izin dibuka, pelabuhan Ethiopia dibanjiri kapal dari Tiongkok, Uni Emirat Arab, dan Singapura. Mereka bukan membawa senjata, tapi server, pendingin cair, dan miliaran dolar investasi. Addis Ababa berubah menjadi kota data, pusat penambangan kripto terbesar di Afrika. Dunia menjulukinya 'The Dam Revolution'—revolusi bendungan.

Namun di balik gemerlap itu, ada bayangan panjang. Sepertiga listrik nasional kini tersedot untuk dunia digital. Di desa-desa Oromia dan Tigrai, anak-anak masih belajar di bawah cahaya lampu minyak. Petani masih menimba air dengan tangan. Pemerintah berjanji keuntungan Bitcoin akan memperluas jaringan listrik nasional. Tapi janji itu terdengar seperti ironi: terang masa depan dibayar dengan gelap hari ini.

Barangkali memang begitulah harga sebuah kemajuan: mereka yang menyalakan masa depan, belum tentu ikut menikmati cahayanya.

Dari Washington hingga London, lembaga keuangan dunia terpaku melihat negara miskin menghasilkan dolar tanpa meminjam. Sistem yang selama ini memberi makan Afrika, kini diguncang oleh Afrika sendiri. Ethiopia tidak butuh pinjaman—mereka punya sungai sendiri. Kalimat itu menggema seperti perlawanan terhadap hegemoni ekonomi global.

Tidak satu dolar pinjaman digunakan untuk membangun bendungan itu. Ia lahir dari tangan rakyat sendiri—dari sumbangan, dari pengorbanan jutaan warga yang percaya pada mimpi kemandirian. Setiap tetes air yang melewati turbin adalah simbol perjuangan itu. Air yang dulu dianggap milik bersama kini menjadi kekuatan nasional.

Bagi generasi muda Ethiopia, bendungan itu bukan sekadar infrastruktur, tapi kebangkitan identitas. Untuk pertama kalinya mereka merasa bisa berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa maju—bukan sebagai pengikut, tapi pencipta sistem baru.

Ethiopia kini berdiri di persimpangan sejarah. Satu langkah menuju masa depan yang megah, tapi jutaan rakyat masih hidup di bawah garis kemiskinan. Tapi meskipun demikian, Dunia memuji keberanian mereka menantang sistem keuangan global.

Dan mungkin, sejarah kali ini benar-benar sedang ditulis ulang di tepi Sungai Nil Biru. Tapi tintanya bukan darah atau pena, melainkan air yang berubah menjadi cahaya.

Inilah contoh nyata sebuah negara miskin di Afrika yang mampu mengoptimalkan keunggulan komparatif sumber dayanya. Indonesia, dengan limpahan kekayaan alam dan energi yang jauh lebih besar, semestinya bisa menghasilkan lebih banyak untuk penerimaan negara—jika saja dikelola 'benar-benar'

Oleh : Indra Gusnady

Read Entire Article
Karya | Politics | | |