PAPUA - Di balik klaim perjuangan dan propaganda kemerdekaan, Organisasi Papua Merdeka (OPM) menunjukkan wajah aslinya: kelompok bersenjata yang kini lebih mirip pemalak daripada pejuang. Di berbagai wilayah Papua Pegunungan dan Papua Tengah, mereka menjalankan operasi sistematis berupa pemerasan dan pemalakan terhadap warga sipil, pelaku usaha, dan aparat desa demi membiayai aksi separatisme yang kian kehilangan arah. Rabu 7 Mei 2025.
Kekerasan tidak lagi hanya terjadi di medan konflik, tetapi telah merayap ke pasar-pasar, kios kecil, hingga rumah warga. Di sinilah modus ‘uang keamanan’ menjadi senjata tanpa peluru yang sama menakutkannya. Warga diintimidasi, dipaksa menyetor uang setiap bulan agar bisa menjalankan usaha tanpa gangguan. Ironisnya, semua dilakukan atas nama perjuangan.
“Mereka datang bawa senjata, minta uang. Kalau tidak dikasih, kios dibakar. Kami hidup dalam ketakutan, ” ujar seorang pedagang di Intan Jaya yang memilih identitasnya dirahasiakan. Rabu (7/5/2025).
Kelompok OPM berdalih bahwa pungutan ini adalah kontribusi masyarakat untuk perjuangan kemerdekaan Papua. Namun kenyataannya, dana tersebut digunakan untuk membeli senjata, membiayai logistik militer mereka, dan menopang gaya hidup elit OPM baik yang bersembunyi di hutan maupun yang hidup nyaman di luar negeri.
Situasi ini menciptakan krisis ekonomi lokal. Banyak pengusaha kecil memilih hengkang dari wilayah rawan. Distribusi barang terhambat, harga kebutuhan melonjak, dan kesempatan kerja makin menipis. Bukan hanya ekonomi yang hancur, tetapi juga rasa aman dan harapan hidup warga Papua.
Tokoh pemuda Yahukimo, Deni Wanimbo, dengan lantang mengecam praktik kejam ini.
“Ini bukan perjuangan. Ini pemerasan. OPM sekarang lebih sibuk mengancam rakyatnya sendiri daripada melawan ketidakadilan yang mereka tudingkan.”
Tindakan OPM hari ini memperjelas: bukan pembebasan yang mereka kejar, tapi kekuasaan yang dipaksakan lewat ketakutan. Kekerasan yang mereka lakukan bukan lagi demi tanah air, tapi demi bertahan hidup dengan cara yang menindas sesama orang Papua.
Momen ini menjadi alarm nasional bahwa kehadiran negara di Papua tidak cukup hanya dalam bentuk aparat keamanan. Pendekatan menyeluruh harus dilakukan dari pembangunan yang merata, penguatan peran tokoh adat dan agama, hingga perlindungan tegas terhadap warga sipil.
Sudah saatnya kita menyebut hal ini sebagaimana mestinya: OPM bukan lagi simbol perjuangan, melainkan mesin pemeras rakyat. (APK/Red1922)