JAKARTA - Sebuah kebingungan melanda ruang rapat Komisi X DPR pada Selasa malam (26/8/2025), ketika Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar Widyasanti, dihadapkan pada pertanyaan tajam terkait data pertumbuhan ekonomi Kuartal II-2025. Angka 5, 12% year-on-year (yoy) yang dirilis BPS ternyata jauh melampaui ekspektasi para pakar ekonomi, memicu sorotan tajam dari para wakil rakyat.
Anggota Komisi X DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Bonnie Triyana, menjadi salah satu yang pertama menyuarakan keraguan. Ia secara gamblang menyinggung laporan salah satu media nasional yang menuduh BPS telah 'mengutak-atik' angka pertumbuhan ekonomi.
"Ada tuduhan bahwa BPS disebut oleh Tempo itu mengutak-atik angka pertumbuhan ekonomi, " kata Bonnie saat Rapat Dengar Pendapat Komisi X DPR dengan Kepala BPS di Gedung DPR, Jakarta.
Bonnie mendesak Amalia untuk memberikan penjelasan rinci, termasuk mengenai metodologi yang digunakan BPS, yang dinilainya sangat berbeda dari proyeksi konsensus para ekonom.
Senada dengan Bonnie, Anggota Komisi X DPR dari Fraksi Golkar, Juliyatmono, juga menuntut klarifikasi. Ia merasa perlu ada penjelasan dari BPS mengenai polemik data PDB Kuartal II-2025 ini, mengingat masyarakat tengah merasakan kesulitan ekonomi, namun data menunjukkan pertumbuhan yang pesat.
"Karena kenyataannya orang merasakan agak susah tapi bertumbuh seperti ini, mungkin bisa dijelaskan ke kami-kami ini tentang metodologi singkat di mana posisi pertumbuhan itu yang paling sentral, " ungkap Juliyatmono.
Lebih lanjut, Anggota Komisi X DPR dari Fraksi Gerindra, La Tinro La Tunrung, menyatakan keprihatinannya atas merebaknya keraguan publik terhadap rilis data BPS. Menurutnya, data yang muncul tidak mencerminkan kondisi ekonomi yang dirasakan masyarakat dan sangat jauh dari margin of error proyeksi para ekonom.
"Kalau saya mengatakan memang perlu prihatin dan saya mohon maaf ke BPS saya melihat sendiri ada keraguan dari survei yang dilakukan BPS, keraguan ini tentu dengan banyaknya data yang juga bisa kita lihat kondisi-kondisi sekarang, " ujar La Tinro.
La Tinro bahkan menyoroti besaran anggaran yang telah digelontorkan untuk survei BPS. Ia menyebutkan, dengan anggaran Rp 7 triliun, seharusnya data yang dihasilkan akurat dan dapat dipercaya.
"Berapa sih biaya yang sudah kita keluarkan? tadi disebutkan Rp 6 triliun, ditambah lagi Rp 1 triliun, menjadi Rp 7 triliun. Kalau hanya menyajikan data yang salah tidak ada guna nya. Saya tidak tertarik membicarakan masalah tambahan anggaran kalau ini sebenarnya belum clear, " tegas La Tinro.
Ia memperingatkan akan dampak fatal dari penyajian data yang keliru, yang bisa berujung pada kesalahan pengambilan kebijakan oleh pemerintah.
"Jangan sampai karena ada keinginan-keinginan yang lain sehingga terjadilah kesalahan, dan fatalnya pemerintah bisa salah dalam mengambil kebijakan karena data yang salah, " ungkapnya.
Menanggapi berbagai pertanyaan tersebut, Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menegaskan bahwa tugas BPS adalah mengukur kondisi ekonomi berdasarkan data dan fakta, bukan sekadar proyeksi. Ia menekankan bahwa BPS adalah satu-satunya lembaga resmi negara yang menghasilkan data PDB melalui pengukuran dan pengumpulan 1.058 variabel.
"Kami tidak melakukan proyeksi, dan kami juga tidak menghasilkan statistik ini dengan asumsi dan persepsi. Kami adalah lembaga satu-satunya resmi negara yang menghasilkan data PDB dengan cara mengukur dan mengumpulkan melalui 1.058 variabel yang kami gunakan, " kata Amalia.
Amalia, yang akrab disapa Winny, menjelaskan bahwa lembaga lain umumnya melakukan prediksi atau perkiraan dengan model proyeksi, sementara BPS mengukur menggunakan data yang dikumpulkan melalui survei maupun data administrasi.
"Sehingga sekali lagi kami menggunakan sekitar 1.058 variabel, tidak hanya di nasional tapi kami juga mengukur PDRB di tingkat provinsi kabupaten/kota di seluruh Indonesia yang harus konsisten antara agregasi PDRB di 38 provinsi ke tingkat nasional dan kami harus koherensikan dari nasional di disagregasi ulang, " jelasnya.
Winny menambahkan, proses pengumpulan data dan perhitungan detail ini harus diselesaikan BPS dalam waktu 35 hari kerja.
"Ini harus dua arah (data PDB-PDRB) berjalan, ini proses yang kami lakukan tidak mudah, kami lakukan ini dalam waktu 35 hari kerja, " ujar Winny.
Ia juga memastikan bahwa BPS terus berupaya menjaga kualitas dan keterbandingan internasional, mengingat pengawasan dari berbagai pihak.
"Seperti kami juga selalu menghadiri sidang tahunan komisi statistik PBB, ada forum masyarakat statistik, metodologi BPS juga mengacu pada panduan dari komisi statistik PBB dan lembaga nasional seperti untuk hitung PDB ada rujukannya yaitu sistem of national account, " tegasnya.
Lebih lanjut, Winny mengungkapkan bahwa BPS juga menjadi bagian dari Committee on Statistics and Statistical Policy (CSSP) OECD, serta dipercaya oleh PBB dan komunitas NSO dunia sebagai tuan rumah UN Regional Hub on Big Data and Data Science for Asia and the Pacific.
"Dan bahkan PBB dan komunitas NSO dunia memberikan kepercayaan kepada BPS sebagai tuan rumah UN Regional Hub on Big Data and Data Science for Asia and the Pacific, " ungkapnya.
"Ini tidak mudah mendapatkan kepercayaan menjadi UN Regional Hub, " tutup Winny. (Klik BPS)