Ekonomi Sumbar: PDRB Tumbuh, Net Eksport Masih Terpuruk – Apa Solusinya

1 day ago 3

𝘛𝘶𝘭𝘪𝘴𝘢𝘯 𝘪𝘯𝘪 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘢𝘫𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘵𝘦𝘭𝘢𝘢𝘩 𝘢𝘯𝘢𝘭𝘪𝘵𝘪𝘴 𝘳𝘪𝘯𝘨𝘬𝘢𝘴, 𝘢𝘵𝘢𝘴 𝘥𝘦𝘯𝘺𝘶𝘵 𝘦𝘬𝘰𝘯𝘰𝘮𝘪 𝘚𝘶𝘮𝘢𝘵𝘦𝘳𝘢 𝘉𝘢𝘳𝘢𝘵 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘳𝘶𝘫𝘶𝘬 𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘥𝘢𝘵𝘢 𝘗𝘋𝘙𝘉 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘳𝘶𝘵 𝘱𝘦𝘯𝘨𝘦𝘭𝘶𝘢𝘳𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘱𝘢𝘯𝘫𝘢𝘯𝘨 2020 𝘩𝘪𝘯𝘨𝘨𝘢 2024.

Pada permukaan, grafik pertumbuhan ekonomi Sumatera Barat selama 5 tahun, memperlihatkan garis yang perlahan menanjak. PDRB atas dasar harga berlaku meningkat dari tahun ke tahun, bahkan menunjukkan pemulihan yang cukup kuat pascapandemi 2020.

Namun, jika grafik yang sama ditarik sedikit ke dalam dan ditelusuri komponen pengeluarannya, akan terlihat satu anomali yang tidak bisa diabaikan: net ekspor barang dan jasa Sumatera Barat masih berada di zona negatif. Artinya, meski roda ekonomi lokal berputar, sebagian besar nilai tambah justru mengalir keluar daerah.

Data PDRB menunjukkan konsumsi rumah tangga tetap menjadi penggerak utama ekonomi dengan porsi terbesar dalam struktur pengeluaran. Pola ini mencerminkan karakter ekonomi Sumbar yang masih sangat bergantung pada daya beli masyarakat dan pergerakan aktivitas domestik seperti perdagangan, kuliner, dan jasa berbasis pariwisata.

Sementara itu, konsumsi pemerintah juga relatif stabil, namun tidak cukup kuat untuk menstimulasi lonjakan investasi produktif. Pada sisi lain, pembentukan modal tetap bruto (PMTB), yang menjadi indikator investasi, memang tumbuh, tetapi pertumbuhannya tidak sebanding dengan harapan untuk menciptakan keunggulan ekspor daerah.

Yang menarik, komponen ekspor tumbuh, tetapi impor tumbuh lebih cepat. Kondisi ini menciptakan defisit net ekspor. Di atas kertas, Sumatera Barat dikenal sebagai daerah yang memiliki potensi komoditas ekspor seperti perikanan, karet, produk turunan sawit, kopi, dll. Namun secara statistik, ekspor antardaerah dan luar negeri masih belum mampu menutup impor barang konsumsi dan bahan baku.

Hal ini mengindikasikan bahwa struktur produksi lokal belum sepenuhnya terhubung dengan rantai nilai ekspor yang bernilai tambah tinggi. Sebagian besar produk yang keluar dari Sumbar masih berbentuk bahan mentah, sementara barang yang masuk justru produk jadi dengan harga lebih tinggi.

Bagi pelaku usaha kecil di daerah, ekspor bukan sekadar soal membuka pasar, tetapi menyangkut akses logistik, pembiayaan, dan sertifikasi produk. Seorang pelaku ekspor kopi di Solok pernah menyebut bahwa biaya kontainer dan pengurusan dokumen sering kali lebih mahal daripada nilai transaksi awal. Tidak mengherankan jika banyak pelaku usaha memilih menjual ke pasar domestik ketimbang masuk ke jalur ekspor resmi.

Di sisi lain, pariwisata yang selama ini menjadi tumpuan ekonomi tidak memberikan 'multiplier effect' yang optimal karena sebagian besar belanja wisatawan justru bocor ke produk impor seperti barang elektronik, tekstil luar daerah, dan produk konsumsi cepat saji.

Tren PDRB 2020–2024 juga memperlihatkan bahwa konsumsi rumah tangga melonjak signifikan setelah pandemi, menandakan pemulihan sosial-ekonomi yang cukup cepat. Namun tanpa dorongan ekspor bersih, pertumbuhan seperti ini hanya menciptakan kesejahteraan semu. Perekonomian tumbuh, tetapi ketergantungan terhadap pasokan luar daerah tetap tinggi.

Jika kondisi ini dibiarkan, Sumatera Barat akan terjebak dalam paradoks pembangunan: angka PDRB terus naik, tetapi keunggulan ekonomi daerah tidak semakin kuat.

Ke depan, Sumatera Barat perlu mengalihkan fokus dari sekadar pertumbuhan konsumsi ke penguatan basis produksi ekspor. Pemerintah daerah harus mempercepat hilirisasi komoditas unggulan seperti perikanan, kopi, karet, sawit dll dengan memperkuat industri pengolahan lokal.

Langkah ini tidak hanya meningkatkan nilai ekspor, tetapi juga menahan arus keluar barang impor yang selama ini mendominasi pasar regional. Program insentif bagi UMKM ekspor dan penyediaan fasilitas logistik terintegrasi menjadi kunci untuk memperbaiki kinerja net ekspor.

Di tengah kondisi pengurangan dana transfer ke daerah pada 2026, Sumatera Barat tidak bisa lagi hanya mengandalkan belanja pemerintah sebagai penopang ekonomi.

Daerah harus berani memposisikan diri sebagai produsen dan eksportir 'bernilai tambah' terutama komiditi pertanian, perkebunan, bukan hanya pasar bagi produk luar. Dengan memperkuat konektivitas pelabuhan, memperluas akses pembiayaan ekspor, dan mengintegrasikan data produksi daerah, Sumbar dapat mengubah defisit ekspor menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru.

Pada akhirnya, pertanyaan mendasarnya sederhana: apakah Sumatera Barat ingin terus tumbuh sebagai konsumen, atau bertransformasi menjadi pemain utama dalam perdagangan regional? Data PDRB 2020–2024 telah memberi isyarat. Tinggal bagaimana kebijakan dan visi ekonomi daerah mampu menangkap sinyal itu menjadi momentum perubahan.

 Oleh: Indra Gusnady

Read Entire Article
Karya | Politics | | |