INSPIRATIF - Teknik berdagang Abdurrahman bin Auf—berdasarkan kejujuran, kepercayaan, dan kepedulian—ternyata tidak pernah usang. Di tengah era digital yang penuh algoritma, strategi iklan, dan analitik data, prinsip dagangnya justru semakin relevan.
Ia tidak hanya membangun pasar, tetapi membangun makna: bahwa bisnis yang tumbuh dari integritas akan bertahan melampaui waktu dan teknologi.
Kunci Sukses Abdurrahman bin Auf dan Kaitannya dengan Ekonomi Modern :
- Kejujuran dan Kepercayaan sebagai Modal Utama
Ketika hijrah ke Madinah tanpa membawa harta sepeser pun, Abdurrahman hanya berkata kepada Sa’ad bin Rabi’, “Tunjukkan aku di mana pasar.” Ia memulai usaha dari nol, menjual barang sederhana, dan membangun reputasi dengan satu prinsip: tidak menipu dan tidak menimbun.
Kejujuran itu menjadi 'brand value' yang tak ternilai. Ia memahami bahwa kepercayaan adalah aset yang lebih berharga daripada modal.
Amartya Sen menegaskan: “A market also needs trust and confidence to function efficiently.” Tanpa kejujuran, pasar akan gagal menjalankan fungsinya karena hilangnya keyakinan antara penjual dan pembeli.
- Kepedulian Sosial dan Keseimbangan Dunia–Akhirat
Abdurrahman bin Auf bukan hanya pedagang sukses, tetapi juga dermawan besar. Ketika kafilah dagangnya tiba membawa keuntungan besar, ia tidak menimbunnya, melainkan membagikan sebagian kepada fakir miskin. Baginya, kekayaan hanyalah titipan, dan bisnis adalah jalan menuju ridha Tuhan.
Konsep ini sejalan dengan stakeholder capitalism: perusahaan bertanggung jawab kepada pemegang saham, pekerja, pelanggan, dan masyarakat luas.
Milton Friedman berpendapat: “the social responsibility of business is to increase its profits… so long as it stays within the rules of the game.” Namun pandangan modern menekankan bahwa bisnis juga harus memperhatikan keadilan dan kepercayaan sosial.
- Adaptasi dan Inovasi dari Kecil ke Besar
Kunci ketiga kesuksesannya adalah kemampuan beradaptasi. Ia tidak menunggu modal besar untuk memulai, melainkan langsung bergerak dengan apa yang ada. Dari menjual barang kebutuhan sederhana, ia belajar tentang pasar dan konsumen, lalu mengembangkan usahanya.
Dalam kerangka ekonomi modern, ini serupa dengan 'lean startup' dan 'Minimum viable product' (MVP). Joseph Schumpeter menekankan 'creative destruction' sebagai jantung pertumbuhan ekonomi; adaptasi dan inovasi adalah kunci bertahan dalam ekonomi yang dinamis.
𝐃𝐚𝐫𝐢 𝐌𝐚𝐝𝐢𝐧𝐚𝐡 𝐤𝐞 𝐌𝐚𝐫𝐤𝐞𝐭𝐩𝐥𝐚𝐜𝐞
Kini, pasar berpindah ke layar ponsel. Etalase berubah menjadi feed, pelanggan menjadi followers, dan promosi dijalankan lewat influencer. Namun esensi bisnis tetap sama: siapa yang dipercaya, dialah yang bertahan.
Teladan Abdurrahman bin Auf menegaskan bahwa integritas adalah modal utama yang tak pernah usang oleh zaman. Jika Abdurrahman hidup hari ini, ia mungkin berdagang di marketplace atau media sosial, tetapi tidak akan menipu atau menjual janji kosong. Ia akan menjadi influencer etika, bukan sekadar influencer produk.
𝐔𝐧𝐭𝐮𝐧𝐠 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐓𝐚𝐤 𝐓𝐞𝐫𝐜𝐚𝐭𝐚𝐭
Kita mungkin tidak bisa menjadi Abdurrahman bin Auf, tapi kita bisa meneladani jiwanya. Di tengah dunia yang menilai segalanya dengan grafik dan metrik, bisnis harus menumbuhkan kepercayaan, bukan hanya keuntungan.
Ketika banyak orang sibuk mengejar omzet, kisah Abdurrahman bin Auf mengingatkan kita pada dua hal yang tak bisa dibeli dengan uang: ketenangan hati dan kepercayaan publik.
Oleh: Indra Gusnady