Hendri Kampai: Di Indonesia, Dengan Modal Menjilat Bisa Jadi Pejabat?

1 month ago 34

PEMERINTAHAN - Dalam sistem politik dan birokrasi Indonesia, meritokrasi sering kali menjadi mitos belaka. Alih-alih kompetensi dan integritas yang menentukan karier seseorang dalam pemerintahan, realitas di lapangan menunjukkan bahwa loyalitas membabi buta kepada atasan, alias "menjilat, " bisa menjadi tiket emas menuju kursi kekuasaan. Fenomena ini bukan hanya merusak etika kepemimpinan, tetapi juga menggerogoti kualitas tata kelola pemerintahan dan memperburuk budaya korupsi.

Menjilat: Strategi Karier yang Teruji?
Di berbagai level pemerintahan dan birokrasi, kita sering mendengar cerita tentang individu yang naik jabatan bukan karena prestasi, tetapi karena kepiawaian mereka dalam "mengamankan" kedekatan dengan orang berkuasa. Cara-cara mereka beragam: mulai dari memuji berlebihan, melayani tanpa kritik, hingga menjadi “penjaga kepentingan” atasan tanpa peduli benar atau salah. 

Bahkan dalam dunia politik, banyak contoh bagaimana mereka yang paling loyal terhadap elite tertentu justru lebih cepat naik ke posisi strategis. Di era Orde Baru, loyalitas terhadap penguasa menjadi syarat mutlak untuk mendapatkan jabatan. Meski reformasi 1998 diharapkan membawa perubahan, kenyataannya, praktik serupa masih berlangsung hingga kini, hanya dengan kemasan yang lebih modern dan canggih.

Dampak Sistem "Menjilat" dalam Kepemimpinan
Sistem yang mengutamakan loyalitas tanpa kompetensi ini berdampak sangat buruk pada tata kelola pemerintahan. Beberapa akibatnya antara lain: 

1. Penurunan Kualitas Kebijakan: Ketika seseorang dipilih bukan karena kecerdasannya, melainkan karena kepandaiannya dalam mencari muka, kebijakan yang dihasilkan pun cenderung tidak berkualitas. Pejabat yang hanya tahu memuaskan atasan tidak akan berani mengambil keputusan yang berpihak pada rakyat jika itu berisiko membuatnya kehilangan posisi. 

2. Matinya Kritik dan Inovasi: Budaya menjilat menciptakan lingkungan kerja yang penuh kepalsuan. Tidak ada diskusi terbuka, tidak ada kritik yang membangun, dan tidak ada inovasi. Semua sibuk memastikan bahwa kepentingan atasannya tidak terusik, meskipun itu berarti membiarkan kebijakan buruk tetap berjalan. 

3. Korupsi dan Kolusi Semakin Subur:  Salah satu efek paling berbahaya dari sistem ini adalah meningkatnya praktik korupsi. Pejabat yang naik dengan modal "menjilat" umumnya lebih loyal kepada orang yang memberinya jabatan daripada kepada rakyat atau hukum. Mereka akan merasa berutang budi dan akhirnya terseret dalam lingkaran setan kolusi dan nepotisme. 

Apakah Masih Ada Harapan?
Indonesia bukan tidak memiliki pemimpin yang kompeten dan berintegritas. Banyak pejabat daerah dan nasional yang benar-benar bekerja untuk rakyat dan berusaha memutus mata rantai feodalisme politik ini.

Namun, selama sistem perekrutan kepemimpinan masih lebih mengutamakan "siapa yang dekat dengan siapa" daripada "siapa yang paling mampu, " reformasi birokrasi dan politik di Indonesia akan terus tersendat.

Diperlukan keberanian dari berbagai elemen masyarakat, termasuk media dan akademisi, untuk terus menyoroti masalah ini. Selain itu, rakyat sebagai pemilih harus lebih kritis dalam menentukan pemimpin, agar yang naik ke kursi kekuasaan bukan sekadar orang yang pandai menjilat, tetapi yang benar-benar memiliki kapasitas dan moralitas untuk memimpin.

Perubahan Harus Dimulai dari Kita
Jika kita ingin melihat perubahan nyata, kita harus berhenti menganggap "menjilat" sebagai strategi karier yang wajar. Kita harus mendukung sistem yang lebih transparan dan berbasis prestasi. Jangan sampai masa depan bangsa terus digadaikan oleh orang-orang yang hanya mahir mencari muka, sementara rakyat terus menderita akibat kepemimpinan yang buruk.

Indonesia membutuhkan pemimpin sejati, bukan sekadar bawahan yang patuh tanpa berpikir kritis. Jangan biarkan budaya feodalisme modern ini terus menjadi norma. Jika kita diam, kita juga turut andil dalam melanggengkan sistem yang rusak ini.

Jakarta, 15 Maret2025
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi

Read Entire Article
Karya | Politics | | |