Herman Djide: Pembangunan Desa Tak Cukup dengan Beton Saatnya Rakyat Terlibat Langsung

1 week ago 9

PANGKEP SULSEL - Selama bertahun-tahun, kita menyaksikan wajah desa berubah perlahan. Jalan diperkeras, kantor desa direnovasi, dan drainase dibangun. Dana Desa menjadi motor utama perubahan itu. Tapi satu pertanyaan penting mengemuka: Apakah pembangunan ini benar-benar menyentuh kebutuhan dasar dan masa depan warga desa?

Saya melihat, di banyak tempat, pembangunan desa terlalu fokus pada aspek fisik. Jalan diperbaiki setiap tahun, terkadang pada ruas yang sama. Sementara itu, pengangguran masih tinggi, pemuda desa pergi merantau karena tak ada pekerjaan, lahan kosong terbengkalai, dan potensi wisata atau pertanian tidak digarap serius. Artinya, kita membangun dari luar, tapi tidak dari dalam.

Inilah mengapa saya percaya, desa membutuhkan pendekatan baru: perencanaan pembangunan yang partisipatif dan kolaboratif.

Dari “Musyawarah Tahu Semua” ke “Musrenbang yang Diresapi”

Musrenbang — musyawarah perencanaan pembangunan — adalah instrumen formal yang digunakan untuk menjaring aspirasi warga. Namun, tidak sedikit Musrenbang yang terkesan seremonial, kaku, dan administratif. Usulan masyarakat sering hanya jadi daftar panjang, yang kemudian tersaring habis di tingkat atas karena "tidak prioritas" atau "tidak sesuai juknis".

Saya tidak menolak Musrenbang. Tapi Musrenbang tidak boleh jadi satu-satunya ruang. Kita perlu membuka saluran aspirasi yang lebih luas, lebih cair, dan lebih terus-menerus. Perencanaan pembangunan harus dilakukan sepanjang tahun, bukan hanya saat Musrenbang tiba.

Di sinilah ide tentang platform perencanaan partisipatif dan kolaboratif menjadi sangat relevan.

Desa Harus Dengar Rakyat Sepanjang Tahun

Platform ini bukan sekadar aplikasi digital. Ia bisa berbentuk forum tatap muka rutin, grup diskusi tematik, kotak saran di balai desa, hingga papan peta usulan di tempat umum. Intinya: warga diajak berpikir, memberi ide, dan memantau hasilnya.

Di era teknologi seperti sekarang, desa bisa membangun sistem informasi sederhana. Misalnya, warga mengusulkan program wisata rawa, pelatihan pengolahan pangan lokal, atau penataan kawasan kuliner. Usulan itu diverifikasi bersama, dilihat potensinya, lalu dipilih melalui voting warga. Setelah disepakati, program dijalankan dan diawasi secara terbuka.

Inilah wajah baru desa: bukan hanya membangun jalan, tapi membangun partisipasi, kesadaran, dan kemandirian.

Kolaborasi Jadi Kunci

Desa juga tidak bisa jalan sendiri. Ia harus terbuka membangun kolaborasi. Libatkan kampus untuk riset potensi desa. Gandeng komunitas pemuda untuk digitalisasi UMKM. Ajak LSM membantu pelatihan warga. Undang investor lokal untuk mengembangkan agro wisata atau pengelolaan air bersih.

Dengan kolaborasi, desa tidak hanya mengandalkan anggaran, tapi juga sumber daya manusia, ilmu pengetahuan, dan jejaring. Banyak kampus dan lembaga kini ingin “turun gunung” — tinggal bagaimana desa membuka diri.

Dana Desa Bukan Warisan Abadi

Satu hal yang penting disadari: Dana Desa bukan jaminan selamanya. Jika suatu hari Dana Desa dihentikan atau dikurangi, apa yang tersisa untuk menopang ekonomi desa?

Desa harus mulai membangun sumber pendapatan asli desa (PADes) dari sekarang. Entah dari pariwisata, pengolahan hasil tani, jasa lingkungan, atau usaha sosial. Tapi itu hanya bisa terjadi kalau perencanaan pembangunan benar-benar diarahkan pada pengembangan potensi lokal, bukan sekadar proyek tahunan.

Penutup: Kita Butuh Pembangunan yang Mengubah Hidup

Kita tidak anti pembangunan fisik. Tapi pembangunan yang hebat bukan hanya yang tampak dari trotoar dan bangunan, melainkan yang mengubah kehidupan masyarakat. Yang memberi pekerjaan, memberi harapan, dan membangkitkan rasa memiliki terhadap desa.

Dengan membuka ruang partisipasi dan membangun kolaborasi lintas sektor, desa akan lebih siap menghadapi masa depan. Lebih tahan krisis, lebih inovatif, dan lebih mandiri.

Saatnya pembangunan desa bukan hanya soal semen dan aspal. Tapi soal suara, ide, dan peran aktif setiap warganya. 

Pangkep 10 April 2025

Penulis Herman Djide Ketua Dewan Pimpinan Daerah Jurnalis Nasional Indonesia Cabang Kabupaten Pangkep 

Read Entire Article
Karya | Politics | | |