SOLOK — Upaya memperkuat kapasitas pemangku adat terus dilakukan Polres Solok Kota. Hal ini terlihat dari kegiatan Bimbingan dan Penyuluhan (Binluh) Hukum yang dilaksanakan Kasat Binmas Polres Solok Kota AKP Jufrinaldi, SH bersama personel Satbinmas kepada para Niniak Mamak Pemangku Adat di Ruang Rapat Kantor Camat Bukit Sundi, Rabu, 19 November 2025.
Kegiatan ini berlangsung dalam format Focus Group Discussion (FGD) dan mengusung tema 'Meningkatkan Kapasitas Pemangku Adat', sebagai tindak lanjut dari surat Sekretariat Daerah Kabupaten Solok serta disposisi Kapolres Solok Kota. Acara itu dihadiri jajaran LKAAM Kabupaten Solok yang dipimpin Ketua LKAAM, Dr.Gusmal, SE, MM, Dt. Rajo Lelo, serta para Niniak Mamak dari enam kecamatan, yaitu Bukit Sundi, IX Koto Sungai Lasi, Lembang Jaya, Tigo Lurah, Payung Sikaki, dan Gunung Talang.
Empat narasumber dihadirkan dalam FGD ini untuk memperkuat pemahaman para pemangku adat. Dari LKAAM Kabupaten Solok, Sekretaris LKAAM Drs. Reflidon, MM Dt. Kayo menyampaikan materi mengenai tugas pokok KAN dan LKAAM. Dari Polres Solok Kota, AKP Jufrinaldi menyajikan materi utama mengenai konsep 'justice collaborator'. Sementara itu, Pengadilan Koto Baru melalui Hakim Muhammad Arif Wia Azmar, SH, MH menjelaskan hubungan antara hukum adat dan hukum nasional. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Solok yang diwakili drg. Aida Herlina, MM juga turut memberikan pemaparan mengenai peran pemangku adat dalam menjaga warisan budaya.
Dalam materinya, AKP Jufrinaldi memaparkan bahwa 'justice collaborator' adalah saksi pelaku yang bekerja sama dengan aparat penegak hukum dalam mengungkap tindak pidana tertentu. Status ini tidak diberikan kepada semua pelaku yang kooperatif, melainkan mereka yang memiliki peran signifikan dalam pembuktian kasus serta bersedia memberikan keterangan pada proses peradilan. Ia menegaskan bahwa seorang 'justice collaborator' memiliki dua kedudukan, yaitu sebagai pelaku dan sekaligus saksi yang membantu proses persidangan.
AKP Jufrinaldi juga menjelaskan penerapan keadilan restoratif berdasarkan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021. Keadilan restoratif, katanya, merupakan mekanisme penyelesaian tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga masing-masing pihak, serta tokoh masyarakat dan tokoh adat untuk mencapai kesepakatan damai yang adil. Pendekatan ini menitikberatkan pada pemulihan keadaan seperti semula, bukan sekadar memberikan hukuman.
Dalam penjelasannya, Kasat Binmas merinci bahwa keadilan restoratif hanya dapat diterapkan pada kasus-kasus tertentu yang tidak berdampak konflik sosial, tidak berpotensi memecah belah masyarakat, tidak terkait radikalisme atau separatisme, serta bukan merupakan tindak pidana berat seperti terorisme, makar, korupsi, atau pembunuhan. Ia juga menekankan pentingnya pemenuhan hak korban, mulai dari pengembalian barang hingga ganti rugi atas kerusakan maupun biaya yang ditimbulkan dari tindak pidana.
Proses penyelesaian melalui keadilan restoratif, jelasnya, harus dilakukan secara formal, mulai dari pengajuan permohonan, mediasi, pemulihan hak korban, hingga penerbitan SP3 sebagai tanda penghentian penyidikan. Seluruh rangkaian tersebut harus didukung dokumentasi lengkap, termasuk surat perdamaian dan bukti pemulihan hak.
Sepanjang diskusi, antusiasme para Niniak Mamak terlihat menonjol, terutama dalam pembahasan penerapan keadilan restoratif di tengah masyarakat adat. Mereka menilai bahwa pemahaman tersebut sangat dibutuhkan agar penyelesaian konflik dapat dilakukan secara adil, bijak, dan tetap berpijak pada nilai-nilai adat.
Kegiatan ini diharapkan memperkuat sinergi antara adat Minangkabau dan hukum nasional, sehingga para pemangku adat semakin percaya diri dalam menjalankan fungsi sosial mereka. Dengan kemampuan memahami hukum modern tanpa meninggalkan kearifan lokal, para Niniak Mamak diharapkan mampu menjaga keharmonisan sosial di nagari secara berkelanjutan.











































