SITUBONDO — Setelah hampir setahun proses panjang dan penuh dinamika, keadilan restoratif akhirnya menjadi jalan damai dalam penyelesaian kasus kecelakaan maut yang menewaskan pasangan suami istri, almarhum R. Sumarsono dan Peny Wahyuningsih.
Kecelakaan tunggal yang terjadi di jalur Pantura Situbondo pada 17 Juli 2024 itu bukan hanya meninggalkan duka, tetapi juga memicu konflik keluarga. Pasalnya, pengemudi kendaraan yang terlibat dalam insiden tersebut adalah cucu dari almarhum Sumarsono sendiri.
Mediasi antara kedua pihak, yang difasilitasi oleh Kejaksaan Negeri Situbondo dan didampingi tim pengacara masing-masing, berjalan penuh tantangan. Keluarga almarhumah Peny sempat bersikeras menuntut proses hukum, sementara keluarga Sumarsono mencoba melindungi sang cucu yang turut mengalami trauma berat pascakejadian.
Namun, dalam ruang mediasi yang berulang kali dipenuhi air mata, suara gemetar, dan kejujuran yang akhirnya tumbuh, kedua keluarga mulai menyadari bahwa keadilan tidak selalu harus dibayar dengan penghukuman.
“Kami memilih jalan yang memulihkan, bukan menghukum. Tidak ada yang menang dalam tragedi ini. Tapi kami bisa memilih untuk tidak menambah luka baru, ” ujar I Wayan Swandi, S.H., kuasa hukum keluarga Sumarsono.
Penyelesaian damai ini merujuk pada Surat Edaran Jaksa Agung No. 15 Tahun 2020 tentang Pengutamaan Restorative Justice, yang memungkinkan penyelesaian perkara pidana secara kekeluargaan selama belum ada penetapan tersangka dan seluruh pihak sepakat.
Pendekatan ini juga mencerminkan fungsi advokat sebagai penjaga keadilan yang tak hanya fokus pada aspek hukum semata, melainkan juga pada pemulihan hubungan antarmanusia, sebagaimana diatur dalam UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Windi Danianti, anak almarhum Sumarsono, mengaku lega atas keputusan damai ini.
“Kami percaya, Ayah dan Ibu Peny ingin kami hidup dalam damai. Kini kami bisa melanjutkan hidup, bukan dalam dendam, tapi dalam pengertian, ” ujarnya dengan mata berkaca.
Kasus ini menjadi contoh bagaimana keadilan restoratif dapat menjembatani luka, dan bagaimana hukum bisa menjadi jalan menuju pemulihan, bukan sekadar penghukuman. (Ich)