Media Sosial dan Gen Z: Antara Peluang dan Ancaman

1 day ago 10

OPINI - Di era digital seperti sekarang, generasi Z (yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012) tidak bisa dilepaskan dari media sosial. Mereka tumbuh dan berkembang bersamaan dengan pesatnya teknologi informasi, menjadikan platform seperti Instagram, TikTok, X (dulu Twitter), dan YouTube sebagai bagian integral dari kehidupan sehari-hari. Di satu sisi, media sosial memberikan ruang kreativitas dan ekspresi diri yang luar biasa bagi Gen Z. Namun, di sisi lain, ada tantangan besar yang harus kita cermati bersama, terutama terkait dengan kesehatan mental, identitas diri, dan pola interaksi sosial mereka.

Sebagai akademisi yang peduli dengan dunia pendidikan, saya melihat bahwa media sosial telah menciptakan perubahan besar dalam cara Gen Z berinteraksi, memperoleh informasi, bahkan membentuk pandangan terhadap dunia. Namun, perubahan ini tidak selalu bersifat positif. Tanpa literasi digital yang memadai, media sosial justru bisa menjadi pedang bermata dua.

1. Media Sosial Sebagai Ruang Ekspresi dan Kreativitas

Gen Z adalah generasi yang sangat ekspresif dan terbiasa menampilkan identitas diri mereka secara terbuka di media sosial. Kita bisa melihat bagaimana mereka membuat konten kreatif, mulai dari video pendek yang lucu hingga edukasi ringan dalam bentuk reels atau story. Banyak dari mereka yang bahkan sudah memiliki personal branding sejak usia remaja, dan sebagian berhasil menjadikannya sebagai modal karier profesional.

Fenomena ini patut diapresiasi. Media sosial telah membuka peluang yang tak terbayangkan sebelumnya. Anak-anak muda sekarang bisa menjadi entrepreneur digital, influencer, atau content creator dengan jangkauan global. Mereka lebih berani, lebih cepat beradaptasi, dan lebih kritis dalam melihat isu-isu sosial. Namun, apresiasi ini harus dibarengi dengan kesadaran akan risiko yang muncul di balik layar.

2. Tekanan Sosial dan Krisis Identitas

Sayangnya, di balik ekspresi bebas di media sosial, Gen Z juga menghadapi tekanan yang tidak ringan. Tekanan untuk selalu terlihat sempurna, untuk tampil menarik secara visual, hingga keharusan mengikuti tren agar tetap relevan, menciptakan standar sosial yang sering kali tidak realistis. Fenomena FOMO (Fear of Missing Out) menjadi sangat nyata di kalangan mereka. Ketika tidak mengikuti tren terbaru, mereka merasa tertinggal, kurang gaul, bahkan kehilangan eksistensi sosial.

Kondisi ini diperparah dengan algoritma media sosial yang terus memunculkan konten serupa berdasarkan interaksi sebelumnya. Akibatnya, Gen Z kerap terjebak dalam echo chamber, melihat dunia hanya dari sudut pandang yang mereka setujui, dan sulit menerima perbedaan. Hal ini berpotensi menimbulkan polarisasi opini, bahkan intoleransi.

Lebih dari itu, penggunaan media sosial yang berlebihan juga berdampak pada kesehatan mental. Laporan dari WHO dan berbagai lembaga kesehatan mental menunjukkan peningkatan angka kecemasan, depresi, dan gangguan tidur pada remaja akibat terlalu banyak mengonsumsi media sosial. Mereka merasa tidak cukup baik, tidak cukup menarik, dan terus membandingkan diri dengan orang lain. Di sinilah krisis identitas mulai terbentuk: siapa saya sebenarnya di balik semua filter dan likes itu?

3. Literasi Digital sebagai Kebutuhan Mendesak

Dalam konteks ini, literasi digital menjadi sangat penting. Bukan hanya tentang kemampuan menggunakan teknologi, tetapi juga kemampuan untuk berpikir kritis, memilah informasi, dan menyadari dampak psikologis dari konsumsi media sosial. Literasi digital harus menjadi bagian dari kurikulum pendidikan sejak dini, diajarkan bukan hanya oleh guru, tapi juga menjadi tanggung jawab orang tua, masyarakat, dan pemerintah.

Sebagai dosen, saya menyaksikan sendiri bagaimana mahasiswa saya, yang sebagian besar berasal dari Gen Z, berjuang menemukan jati diri mereka di tengah banjir informasi dan standar sosial digital yang begitu tinggi. Banyak dari mereka yang cerdas, kreatif, dan bersemangat, namun juga rapuh secara emosional, tidak tahan kritik, dan mudah merasa gagal jika konten mereka tidak mendapatkan respons yang cukup.

Kita perlu membangun budaya digital yang sehat. Budaya di mana kegagalan tidak harus ditutupi dengan pencitraan, dan keberhasilan tidak selalu diukur dari jumlah likes atau followers. Budaya yang menghargai proses, bukan hanya hasil akhir yang viral.

4. Peran Keluarga dan Institusi Pendidikan

Keluarga memegang peranan sentral dalam pembentukan karakter digital anak-anak Gen Z. Orang tua harus lebih peka dan terlibat dalam kehidupan digital anak-anak mereka, bukan dengan melarang atau mengawasi secara berlebihan, tetapi dengan berdialog dan memberi pemahaman. Komunikasi yang terbuka akan membangun kepercayaan, dan dari sinilah anak-anak bisa merasa aman untuk berbagi masalah yang mereka alami di dunia maya.

Institusi pendidikan juga harus bertransformasi. Kita tidak bisa lagi mengandalkan pendekatan lama dalam mendidik generasi yang cara berpikirnya sudah sangat berbeda. Penggunaan media sosial bisa diarahkan untuk tujuan pembelajaran, pengembangan karakter, dan peningkatan kreativitas, bukan hanya sebagai hiburan semata.

5. Harapan ke Depan

Media sosial bukan musuh. Ia adalah alat. Bagaimana ia digunakan, itulah yang menentukan dampaknya. Generasi Z memiliki potensi luar biasa untuk mengubah dunia menjadi lebih baik. Mereka adalah digital native yang cepat belajar, inovatif, dan memiliki empati sosial yang tinggi jika diarahkan dengan benar.

Yang kita butuhkan sekarang adalah kolaborasi. Kolaborasi antara akademisi, pemerintah, praktisi teknologi, dan masyarakat dalam membangun ekosistem digital yang sehat dan berkelanjutan. Sebuah ekosistem yang tidak hanya mengejar engagement, tetapi juga memperhatikan kesejahteraan psikologis penggunanya.

Sudah saatnya kita memandang media sosial sebagai bagian dari kehidupan yang tak terpisahkan, namun tetap dengan kacamata kritis. Sebab di balik layar kaca yang kecil itu, ada kehidupan nyata yang harus terus kita jaga.

Penulis: Siti Khikmiyah
(Kaprodi Pendidikan Bahasa Inggris Institut Agama Islam Uluwiyah Mojokerto)

Read Entire Article
Karya | Politics | | |