MAKASSAR — Pakar hukum administrasi negara dari Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Dr. Romi Librayanto, S.H., M.H., menegaskan bahwa dokumen hasil appraisal (penilaian) nilai sewa lahan milik Pemerintah Daerah seharusnya dapat diakses publik.
Penegasan ini disampaikan Dr. Romi di tengah sorotan publik atas transparansi pengelolaan lahan kompensasi pembangunan PLTA Karebbe di Kecamatan Malili Kabupaten Luwu Timur, yang kini menjadi lokasi kawasan industri Lampia.
Sejumlah pihak menilai nilai sewa yang ditetapkan Pemkab Lutim kepada PT Indonesia Huali Industrial Park (IHIP) tidak rasional dan cenderung terlalu murah dibanding nilai pasar.
“Seharusnya iya. Intinya adalah melaksanakan urusan negara harus bisa diaudit oleh publik. Kaidahnya adalah semua bisa diakses, kecuali yang harus dirahasiakan, ” ujar Dr. Romi Librayanto saat dimintai tanggapan, Sabtu (01/11/2025).
Menurutnya, prinsip dasar dalam tata kelola pemerintahan yang baik adalah transparansi dan akuntabilitas publik. Karena itu, hasil appraisal — yang menjadi dasar hukum penetapan nilai sewa — tidak boleh ditutup-tutupi, apalagi jika menyangkut aset milik daerah.
“Kecuali kalau dokumen itu mengandung rahasia negara, rahasia dagang, atau informasi yang mengancam keamanan nasional, barulah bisa dikecualikan. Tapi kalau hanya soal nilai sewa lahan pemerintah, publik berhak tahu, ” tegasnya.
Romi menjelaskan, keterbukaan informasi terkait aset daerah diatur jelas dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).
Pasal 11 ayat (1) huruf c UU tersebut menyebut bahwa informasi tentang laporan keuangan dan hasil penilaian aset pemerintah termasuk kategori informasi yang wajib diumumkan secara berkala.
Selain itu, Permendagri Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah juga mengatur bahwa penetapan tarif sewa harus berdasarkan hasil penilaian independen (appraisal) yang disahkan kepala daerah dan dapat diaudit publik.
“Melaksanakan urusan negara itu berarti menggunakan aset publik. Maka seluruh prosesnya harus bisa diuji dan diaudit oleh masyarakat, ” kata Romi menambahkan.
Sebelumnya, dokumen hasil appraisal nilai sewa lahan Pemkab Luwu Timur kepada PT IHIP disebut belum dipublikasikan ke publik maupun ke DPRD.
Nilai sewa yang beredar di masyarakat mencapai sekitar Rp4, 45 miliar untuk jangka waktu lima tahun atas lahan seluas hampir 400 hektare di kawasan industri Lampia.
Perhitungan tersebut setara dengan Rp225 per meter persegi per tahun, angka yang oleh sejumlah pihak dinilai tidak wajar dan berpotensi merugikan daerah.
Sejumlah anggota DPRD Luwu Timur telah mendesak Pemkab untuk membuka hasil appraisal dan seluruh dokumen perjanjian sewa kepada publik. Mereka menilai, keterbukaan data menjadi penting agar tidak muncul kecurigaan adanya penyimpangan dalam pengelolaan aset negara.
Dr. Romi mendukung langkah tersebut dan menegaskan bahwa keterbukaan dokumen appraisal merupakan hak publik yang dijamin undang-undang.
“Kalau DPRD atau masyarakat meminta dokumen appraisal, pemerintah wajib memberikan. Jika tidak, maka itu bentuk pengabaian terhadap prinsip keterbukaan informasi, ” tandasnya.
Ia menilai, pemerintah daerah seharusnya menjadikan keterbukaan informasi sebagai sarana membangun kepercayaan publik dalam pengelolaan sumber daya daerah, bukan justru menimbulkan kecurigaan dengan menyembunyikan data.
“Transparansi itu bukan ancaman bagi pemerintah, tapi justru bukti bahwa mereka bekerja dengan benar, ” pungkas Romi.
Polemik sewa lahan PT IHIP di Lampia bermula dari penggunaan lahan kompensasi PLTA Karebbe (MoU tahun 2006) milik Pemkab Luwu Timur yang kemudian disewakan untuk pengembangan kawasan industri.
Proses dan nilai sewanya kini menjadi sorotan publik karena dinilai tertutup dan tidak proporsional. Selain itu, publik juga mulai mempertanyakan peruntukan lahan kompensasi tersebut dari tujuan semula sebagai kawasan reboisasi. (*)
















































