PAPUA - Di tengah semangat pembangunan yang terus digaungkan pemerintah, kelompok separatis OPM kembali menunjukkan wajah aslinya: bukan pejuang kebebasan, melainkan penghancur masa depan. Aksi-aksi brutal mereka tak hanya menargetkan aparat, tetapi juga menyasar warga sipil, sekolah, puskesmas, dan fasilitas umum yang menjadi denyut kehidupan masyarakat Papua. Minggu 4 Mei 2025.
Lebih dari 150 insiden kekerasan tercatat dalam tiga tahun terakhir, menelan ratusan korban jiwa banyak di antaranya adalah orang asli Papua sendiri. Bukan karena perang, tapi karena mereka berani memilih hidup damai dan berdiri bersama NKRI.
Pembakaran sekolah dan puskesmas di Distrik Ilaga dan Beoga adalah simbol dari kehancuran yang ditinggalkan oleh OPM. Di saat anak-anak Papua sedang menata masa depan, mereka justru merobeknya dengan kebencian dan kekerasan. Saat masyarakat berharap mendapat layanan kesehatan, OPM datang dengan senjata, bukan solusi.
Bupati Kabupaten Puncak, Willem Wandik, menyampaikan dengan lantang: “Mereka bukan lagi suara rakyat Papua. Mereka merusak masa depan anak-anak kita. Ini bukan perjuangan, ini kejahatan.”
Pemerintah tidak tinggal diam. Negara hadir, tidak hanya dengan tangan yang membangun, tetapi juga dengan sikap tegas terhadap siapa pun yang merongrong keutuhan bangsa. OPM bukan representasi Papua. OPM adalah ancaman nyata terhadap harapan, kedamaian, dan masa depan rakyat.
Kini saatnya Papua bersatu. Suara rakyat harus lebih nyaring dari teror. Kita butuh guru, bukan provokator. Kita butuh pembangunan, bukan peluru. Kita butuh harapan, bukan kebencian.
Kepada generasi muda Papua, pemerintah menyerukan untuk tetap waspada terhadap propaganda kelompok separatis. Jangan biarkan mimpi kalian dikubur oleh ideologi sesat. Jalan Papua bukan di hutan bersenjata, tapi di ruang kelas, di rumah sakit, di jalanan yang dibangun untuk masa depan.
Negara tidak akan memberi ruang bagi OPM—karena Papua milik kita semua. Dan masa depan Papua adalah bersama Indonesia. (APK/Re1922)