Pengabaian Aspirasi Rakyat Juga Terjadi Sebelum Demo Reformasi '98 Pecah, Situasinya Sama dengan Indonesia Saat Ini

3 weeks ago 17

POLITIK - Indonesia memiliki sejarah panjang perjuangan rakyat dalam menyuarakan aspirasi mereka. Salah satu titik penting dalam sejarah Indonesia adalah peristiwa Reformasi 1998, yang tidak hanya menjadi puncak dari ketegangan sosial-politik, tetapi juga mencerminkan kegagalan besar pemerintah dalam mendengarkan aspirasi rakyat.

Menariknya, situasi saat ini menunjukkan bahwa kita mungkin berada pada persimpangan jalan yang sama, di mana pengabaian terhadap aspirasi rakyat kembali terjadi, dan kita bisa jadi menyaksikan sejarah yang berulang.

Pada tahun 1998, Indonesia tengah berada dalam cengkeraman pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto. Pada masa itu, meskipun negara mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat, ketimpangan sosial, korupsi, dan kebijakan yang menekan kebebasan berpendapat membuat sebagian besar rakyat merasa terpinggirkan. Ekonomi yang rapuh dan ketidakadilan yang meluas akhirnya membuat rakyat tergerak untuk turun ke jalan. Mereka menuntut perubahan, terutama dalam hal kebebasan politik dan reformasi sosial.

Namun, suara mereka nyaris tak didengar oleh penguasa, yang lebih fokus pada stabilitas kekuasaan mereka. Pengabaian terhadap aspirasi rakyat inilah yang akhirnya mendorong demo besar-besaran pada Mei 1998, yang berujung pada turunnya Soeharto dari tampuk kekuasaan setelah lebih dari tiga dekade berkuasa.

Kini, situasi serupa tampaknya tengah melanda Indonesia. Meskipun sistem demokrasi telah diterapkan sejak era Reformasi, banyak pihak yang merasa bahwa suara rakyat semakin tidak didengar. Ketidakpuasan terhadap pemerintahan yang ada terakumulasi dalam berbagai bentuk, mulai dari protes terhadap kebijakan ekonomi, ketimpangan sosial, hingga transparansi pemerintahan yang dirasa semakin kabur.

Rakyat, terutama di tingkat bawah, mulai merasakan adanya jurang pemisah yang semakin lebar antara kebijakan yang dibuat di Jakarta dan realitas kehidupan sehari-hari mereka. Isu-isu seperti kenaikan harga barang kebutuhan pokok, pengangguran yang tinggi, dan ketidakpastian hukum menjadi bahan bakar bagi ketidakpuasan yang semakin mendalam.

Bukan hanya itu, kebebasan berpendapat yang menjadi salah satu pencapaian reformasi malah terasa terancam dalam beberapa tahun terakhir. Ada upaya untuk mengendalikan media massa, membatasi ruang gerak organisasi masyarakat sipil, dan kriminalisasi terhadap mereka yang berbeda pendapat dengan pemerintah.

Ini menjadi pengingat bagi kita bahwa walaupun ada kebebasan berpendapat, penguasa terkadang tidak siap mendengarkan kritik yang datang dari bawah. Hal ini menciptakan ketegangan yang serupa dengan keadaan sebelum Reformasi '98.

Penting untuk dicatat bahwa ketidakmampuan untuk mendengar suara rakyat ini berpotensi merusak fondasi demokrasi itu sendiri. Demokrasi bukan hanya tentang pemilu dan sistem pemerintahan yang sah, tetapi juga tentang kapasitas untuk merespons kebutuhan dan keinginan rakyat.

Ketika suara rakyat tak lagi menjadi prioritas, dan keputusan-keputusan penting diambil tanpa melibatkan partisipasi aktif mereka, maka ketidakpuasan akan terus menggelegak, dan ketegangan yang terjadi bisa memuncak dalam bentuk yang lebih besar.

Jika pelajaran dari Reformasi 1998 tidak diambil, kita mungkin akan menghadapi konsekuensi yang serupa. Perbedaan antara masa lalu dan sekarang bukanlah pada besarnya gerakan atau jumlah demonstran, tetapi pada kenyataan bahwa pengabaian terhadap suara rakyat tetap dapat mengguncang sistem yang tampaknya sudah stabil. Indonesia sudah cukup dewasa dalam berdemokrasi, namun tetap saja kita harus berhati-hati agar sejarah tidak terulang kembali.

Dalam menghadapi kenyataan ini, kita membutuhkan lebih dari sekadar janji-janji politik. Pemerintah harus memiliki keberanian untuk mendengarkan suara rakyat, terutama mereka yang berada di garis depan ketimpangan sosial dan ekonomi.

Membangun dialog yang konstruktif antara pemerintah dan masyarakat, mengakomodasi aspirasi rakyat, serta memastikan keadilan dan kesejahteraan bagi semua lapisan masyarakat adalah langkah yang harus diambil jika kita ingin mencegah kerusakan yang lebih dalam pada sistem demokrasi yang telah dibangun dengan susah payah. Kita tidak ingin sejarah kelam Reformasi 98 terulang, karena apabila rakyat merasa suaranya diabaikan lagi, gejolak besar tak terelakkan.

Jakarta, 27 Maret 2028

Hendri Kampai (Angkatan 98)

Read Entire Article
Karya | Politics | | |