MATARAM, NTB – Gelombang desakan publik agar Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB segera menetapkan 15 anggota DPRD NTB penerima dana siluman sebagai tersangka terus menguat. Namun dibalik riuh itu, muncul satu suara yang meminta langkah hukum dilakukan dengan kepala dingin.
Direktur LSM Garuda Indonesia, M. Zaini, menilai desakan tersebut berpotensi menyesatkan arah penyidikan jika tidak dibaca secara utuh.
Bagi Zaini, letak masalah bukan pada 15 legislator yang sudah mengembalikan uang itu ke Kejati NTB, melainkan pada pihak yang menggerakkan alur dana sejak awal.
“Mereka ini justru korban permainan aktor intelektual, raja siluman yang bekerja di balik layar, ” katanya, Rabu (10/12/2025).
Dugaan itu mengarah pada eks tim transisi gubernur dan wakil gubernur NTB, kelompok yang disebut Zaini memegang akses informasi dan diduga mengubah “niat baik” gubernur menjadi sesuatu yang bersifat transaksional.
Dalam penelusurannya, Zaini melihat pola yang ia sebut sistematis. Ada pengepul informasi, ada pencarian donatur, ada pengumpulan dana, lalu akses program dijadikan komoditas untuk 38 anggota DPRD NTB yang baru.
Unsur itulah yang menurutnya sangat terang-benderang dan patut diperiksa lebih dulu. “Ini bukan peran sampingan. Dari perspektif pidana, mereka masuk kategori aktor intelektual sebagaimana Pasal 55 KUHP, ” ujarnya.
Zaini mempertanyakan mengapa Kejati NTB belum memanggil para donatur dan anggota eks tim transisi. Ia menilai lambannya proses ini memunculkan kesan adanya perlakuan khusus.
“Yang mengalirkan uang belum disentuh, sementara yang menerima tapi sudah mengembalikan justru mau didorong jadi tersangka lebih dulu. Itu janggal.” ungkapnya.
Zaini melihat arah angin desakan publik tidak sepenuhnya natural. Ia menduga ada kepentingan politik tersembunyi: dorongan untuk membuka pintu PAW (pengganti antar waktu).
“Jika ada yang terseret, akan ada kursi kosong. Ada pihak yang berkepentingan mengisi itu, ” ujarnya.
Karena itu, ia menilai 15 legislator yang telah mengembalikan dana justru merupakan aset penting bagi penegak hukum. Mereka memegang informasi awal tentang siapa menawarkan apa, bagaimana mekanisme dana berjalan, dan siapa sebenarnya penggeraknya.
“Mereka ini pintu masuk, informan kunci. Kalau mau terang, mulai dari mereka. Jangan justru menutup akses dengan menetapkan mereka sebagai tersangka lebih dulu.” ungkapnya.
Zaini menegaskan kembali bahwa dugaan pusat kendali dana tidak berada pada para penerima. Arah dugaan justru mengerucut pada eks tim transisi yang disebut memiliki kedekatan dengan otoritas dan memahami ruang kebijakan pada masa awal pemerintahan.
“Jika ada raja siluman, kemungkinan besar lokasinya di sana, ” tegasnya.
Zaini berharap Kejati NTB memulai penanganan dari hulu, mulai dari donatur, pengepul, dan pengatur permainan. “Kalau rantai itu dibuka, publik akan melihat siapa sebenarnya yang harus bertanggung jawab.” imbuhnya.(Adb)









































