Perempuan Korban Pelecehan Dipaksa Menikahi Pelaku demi Menutup Aib Keluarga

4 hours ago 1

OPINI - Fenomena perempuan korban pelecehan yang dipaksa menikahi pelaku demi “menutup aib keluarga” bukanlah hal baru di masyarakat kita. Praktik ini masih ditemui di berbagai daerah, bahkan sering dianggap sebagai jalan keluar yang “terhormat.” Namun, di balik logika yang dipaksakan ini, terdapat ironi yang menyakitkan: korban kembali menjadi pihak yang harus menanggung beban, sementara pelaku seakan mendapatkan pembenaran atas perbuatannya.

Dalam budaya patriarki, kehormatan keluarga sering dilekatkan pada tubuh perempuan. Ketika seorang perempuan menjadi korban pelecehan, bukan pelaku yang dianggap mencoreng nama baik keluarga, melainkan si korban. Akibatnya, keluarga cenderung memilih cara cepat untuk menghapus stigma sosial: memaksa korban menikahi pelaku. Padahal, pilihan ini justru menjerumuskan korban dalam lingkaran penderitaan baru.

Pernikahan yang lahir dari tekanan dan trauma tidak akan membawa kebahagiaan. Sebaliknya, ia memperpanjang luka batin korban dan menormalisasi perilaku pelaku. Bukannya mendapatkan perlindungan, korban malah kehilangan hak untuk menuntut keadilan. Lebih buruk lagi, praktik semacam ini memberi pesan berbahaya bahwa pelaku dapat lolos dari tanggung jawab hukum hanya dengan “menikahi” korbannya.

Dalam kerangka hukum, pemaksaan pernikahan korban dengan pelaku jelas bertentangan dengan prinsip keadilan. Negara seharusnya hadir untuk melindungi korban dan menindak tegas pelaku, bukan sebaliknya membiarkan solusi semu yang justru memperparah trauma. Jika hukum membiarkan, maka pesan yang sampai ke masyarakat adalah: kehormatan lebih penting dari kemanusiaan, dan korban hanyalah alat untuk menjaga citra keluarga.

Dari perspektif sosial, praktik ini memperkuat budaya menyalahkan korban. Korban yang seharusnya mendapat dukungan justru dipaksa bungkam demi menjaga nama baik keluarga. Padahal, stigma terhadap korban muncul karena pola pikir masyarakat yang keliru, bukan karena korban itu sendiri.

Kehormatan sejati sebuah keluarga tidak terletak pada bagaimana mereka menutupi “aib, ” melainkan bagaimana mereka memperjuangkan keadilan. Keluarga seharusnya menjadi pelindung pertama korban, bukan justru pihak yang memaksa mereka menerima pernikahan yang tidak diinginkan.

Sudah saatnya masyarakat dan negara bersama-sama menghapus praktik keliru ini. Pendidikan gender yang adil perlu diperkuat sejak dini, hukum harus ditegakkan tanpa kompromi terhadap pelaku, dan keluarga perlu diberi pemahaman bahwa membela korban bukanlah aib, melainkan bentuk keberanian moral.

Perempuan korban pelecehan yang dipaksa menikahi pelaku adalah korban untuk kedua kalinya: korban dari pelaku dan korban dari sistem sosial yang tidak adil. Kita tidak bisa terus membiarkan ini berlangsung. Menutup aib keluarga tidak boleh dibayar dengan mengorbankan masa depan perempuan.

Masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang berpihak pada korban, berani mengoreksi tradisi keliru, dan menolak segala bentuk pembenaran bagi pelaku kekerasan. Inilah saatnya kita berpihak pada kemanusiaan, bukan pada kepalsuan kehormatan.

Judul Opini: Perempuan Korban Pelecehan Dipaksa Menikahi Pelaku demi Menutup Aib Keluarga

Oleh:  Maura Zafira  Vibryani Wibowo, Mahasiswa Universitas Harapan Bangsa Purwokerto 

Hari/Tanggal: Kamis, 09 Oktober 2025

Read Entire Article
Karya | Politics | | |