"Hendaknya tidak jemu-jemunya ia berdana punia dengan memberikan hartanya dan
mempersembahkan sesajen dengan penuh keyakinan. Memperoleh harta dengan cara yang benar dan didermakan akan memperoleh tempat tertinggi (Moksa) " (Manawadharmasastra IV.226).
DENPASAR – Polemik pengelolaan dana punia (sesari) di Pura Melanting, Banjar Dinas Melanting, Desa Banyupoh, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, kembali mencuat setelah adanya surat yang dikirimkan pengayah Pura Melanting tertanggal 21 Agustus 2025 kepada Kapolres Buleleng.
Surat itu menyoal dugaan penguasaan dana sesari sejak 2008 tanpa transparansi kepada 51 pengempon atau pengurus pura (Jero Mangku).
Pura Melanting dikenal sebagai salah satu pura besar yang disungsung umat, khususnya para pedagang dan pengusaha. Tak heran jika sesari yang masuk jumlahnya cukup besar, melebihi rata-rata pura lain.
Namun, persembahan tulus umat yang semestinya menjadi wujud bakti kepada Ida Sang Hyang Widhi justru dipertanyakan penggunaannya.
Warga adat di Buleleng, sekitar 150 KK, menuntut adanya kejelasan pengelolaan dana sesari serta perbaikan tata kelola pura. Bagi umat Hindu, sesari merupakan simbol sradha (keyakinan) dan bhakti (pengabdian), bukan sarana untuk diperebutkan. Dana itu seharusnya kembali untuk kesejahteraan pengempon pura dan kepentingan pura itu sendiri, bukan menjadi “sumber rebutan”.
Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali, I Nyoman Kenak, S.H., menegaskan bahwa polemik seperti ini seharusnya tidak terjadi jika semua pihak kembali pada ajaran Dharma. Ia mengingatkan pentingnya sikap Satya (kebenaran dan kejujuran) sebagai dasar pengabdian.
“Awig-awig maupun purana bisa direvisi demi keadilan bersama. Jangan ada sikap egois. Sesari itu hakikatnya untuk pura, bukan untuk kepentingan pribadi, ” tegasnya, Selasa (26/8/2025).
Ia menambahkan, bahkan di mrajan kecil sekalipun, setiap sesari maupun pengeluaran harus dilaporkan secara terbuka. Apalagi di pura besar seperti Melanting, transparansi mutlak diperlukan. “Kalau ada indikasi penyalahgunaan hingga masuk ranah hukum, ya memang harus ditindaklanjuti, ” ujarnya.
Kenak menekankan, sesari adalah bentuk persembahan umat kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga pengelolaannya wajib bersih, jujur, dan berpihak pada kesejahteraan pengempon. Semua persoalan, menurutnya, idealnya diselesaikan secara internal dengan pengawasan pihak netral agar tidak memicu perpecahan.
Sebagai catatan, berdasarkan Purana Pura Agung Pulaki (2003, terbitan Dinas Kebudayaan Bali), Pura Melanting merupakan bagian dari Pura Pesanakan atau pura pengikut Pura Agung Pulaki yang berstatus Pura Kahyangan Jagat. Artinya, pura ini adalah tempat suci yang bersifat universal dan menjadi tanggung jawab umat Hindu secara luas, tanpa mengenal adanya “pemangku pemucuk” yang menguasai sesari.
Bagi para pihak yang merasa adanya kekeliruan dan bantahan mohon ajukan hak jawab dan hak koreksi kepada kami. (Tim)