KERINCI, JAMBI – Proyek irigasi P3A–TGAI di Desa Semerah, Kecamatan Tanah Cogok, kini jadi sorotan panas. Dugaan penguasaan proyek oleh oknum Sekretaris Desa, mutu pekerjaan yang sangat rendah, dan pungutan fee hingga 25 persen dari total anggaran membuat masyarakat gusar.
Pantauan di lapangan menunjukkan proyek yang seharusnya dikelola kelompok tani justru dikendalikan sepenuhnya oleh Sekdes berinisial M. Warga setempat mengaku tidak dilibatkan sama sekali.
“Kelompok tani tidak tahu mekanismenya. Kami hanya melihat pekerja datang dan pulang, ” kata seorang warga.
Kondisi fisik proyek pun mengkhawatirkan. Pondasi irigasi diduga tidak digali, material batu hanya ditempelkan di permukaan. Pasangan batu dominan batu kapur dan batu gunung, adukan semen terlalu banyak pasir, dan lantai dasar irigasi terlihat tipis. Ahli teknik menyebut pekerjaan ini hanya memenuhi bentuk fisik, tanpa menjamin ketahanan konstruksi.
Isu pungutan fee kini menguat menjadi 25 persen, yang dikabarkan disetor kepada pihak berinisial A sebelum proyek dimulai. Praktik ini diyakini menjadi motif utama di balik lemahnya kualitas pekerjaan.
Transparansi proyek juga sengaja dikaburkan. Papan informasi proyek tidak dipasang, sehingga masyarakat tidak tahu apa saja yang sedang dikerjakan. Tim Pemantau Masyarakat (TPM) pun absen, membuka ruang penyimpangan secara sistematis.
Masyarakat mendesak agar instansi terkait turun langsung untuk melakukan audit fisik dan menelusuri dugaan pungutan fee yang merugikan petani sebagai penerima manfaat utama.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak pelaksana dan otoritas teknis belum memberi keterangan resmi.
KERINCI, JAMBI – Proyek irigasi P3A–TGAI di Desa Semerah, Kecamatan Tanah Cogok, kini jadi sorotan panas. Dugaan penguasaan proyek oleh oknum Sekretaris Desa, mutu pekerjaan yang sangat rendah, dan pungutan fee hingga 25 persen dari total anggaran membuat masyarakat gusar.
Pantauan di lapangan menunjukkan proyek yang seharusnya dikelola kelompok tani justru dikendalikan sepenuhnya oleh Sekdes berinisial M. Warga setempat mengaku tidak dilibatkan sama sekali.
“Kelompok tani tidak tahu mekanismenya. Kami hanya melihat pekerja datang dan pulang, ” kata seorang warga.
Kondisi fisik proyek pun mengkhawatirkan. Pondasi irigasi diduga tidak digali, material batu hanya ditempelkan di permukaan. Pasangan batu dominan batu kapur dan batu gunung, adukan semen terlalu banyak pasir, dan lantai dasar irigasi terlihat tipis. Ahli teknik menyebut pekerjaan ini hanya memenuhi bentuk fisik, tanpa menjamin ketahanan konstruksi.
Isu pungutan fee kini menguat menjadi 25 persen, yang dikabarkan disetor kepada pihak berinisial A sebelum proyek dimulai. Praktik ini diyakini menjadi motif utama di balik lemahnya kualitas pekerjaan.
Transparansi proyek juga sengaja dikaburkan. Papan informasi proyek tidak dipasang, sehingga masyarakat tidak tahu apa saja yang sedang dikerjakan. Tim Pemantau Masyarakat (TPM) pun absen, membuka ruang penyimpangan secara sistematis.
Masyarakat mendesak agar instansi terkait turun langsung untuk melakukan audit fisik dan menelusuri dugaan pungutan fee yang merugikan petani sebagai penerima manfaat utama.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak pelaksana dan otoritas teknis belum memberi keterangan resmi.(son)

















































