JAKARTA - Kehadiran Mal Pelayanan Publik (MPP) kini menjadi sorotan sebagai terobosan cerdas yang tidak hanya merampingkan kerumitan birokrasi, tetapi juga berpotensi besar menggairahkan denyut ekonomi di berbagai daerah. Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, melihat MPP sebagai solusi inovatif yang mampu menyederhanakan urusan administrasi warga.
Bayangkan, Anda tidak perlu lagi berpindah-pindah dari satu kantor ke kantor lain hanya untuk mengurus dokumen penting. Semua terintegrasi dalam satu atap. Mulai dari pengurusan paspor yang seringkali memakan waktu, urusan kependudukan seperti Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) melalui Dukcapil, hingga izin mendirikan bangunan (PBG), semuanya tersaji di MPP.
“Di sini semua layanan, mulai dari paspor, Dukcapil (kependudukan dan catatan sipil), KK (kartu keluarga), hingga pengurusan PBG (Persetujuan Bangunan Gedung), terpadu dalam satu lokasi, ” ungkap Tito Karnavian dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (18/10/2025). Beliau menambahkan bahwa hingga kini, sudah terbentuk 289 MPP di seluruh penjuru Indonesia, dengan Jawa Timur menjadi salah satu provinsi yang cukup pesat dalam pengembangannya, yakni 35 MPP di tingkat kabupaten/kota.
Kementerian Dalam Negeri bersama kementerian dan lembaga terkait terus berupaya keras agar setiap kabupaten dan kota di Indonesia memiliki MPP. Tantangan masih ada, mengingat dari total 514 kabupaten/kota, masih ada yang belum memiliki fasilitas ini. “Dari total 514 kabupaten/kota, masih ada yang belum, dan kami terus mendorong percepatan. MPP membantu masyarakat mendapatkan layanan yang transparan, cepat, dan efisien, sekaligus mengurangi risiko korupsi, ” ujar Mendagri.
Untuk memastikan kualitas layanan semakin prima, Tito menekankan pentingnya integrasi layanan publik melalui platform digital. Ini berarti menghubungkan sistem di pusat dengan daerah, serta memastikan proses perizinan seperti PBG, Sistem Informasi Manajemen Bangunan Gedung (SIMBG), dan Online Single Submission (OSS) tidak berjalan sendiri-sendiri dan mudah diakses masyarakat.
Menanggapi hal ini, Ricky Ekaputra Foeh, seorang dosen Administrasi Bisnis dari Universitas Nusa Cendana, memiliki pandangan menarik. Ia melihat potensi MPP jauh melampaui sekadar menjadi loket administrasi belaka. Menurutnya, MPP bisa bertransformasi menjadi pusat ekonomi lokal yang strategis. Data-data izin usaha yang terhimpun di MPP dapat diubah menjadi basis data potensi pendapatan daerah dan bahkan menjadi jejaring ekonomi yang kuat.
“MPP harus menjadi hub aktivasi ekonomi lokal, tempat data usaha dikonsolidasikan, potensi nilai ekonomi dipetakan, dan pelaku usaha diarahkan masuk ke ekosistem fiskal produktif. Dengan mindset ini, pemda bisa membangun skema pendapatan baru berbasis layanan dan keluar dari tekanan fiskal, ” jelas Ricky.
Ricky menegaskan, MPP adalah momentum bagi pemerintah daerah untuk keluar dari zona nyaman. Alih-alih hanya bergantung pada pajak konvensional, pemda dapat memanfaatkan data dan pergerakan ekonomi yang ada untuk menciptakan nilai baru dan mendorong pertumbuhan lokal yang berkelanjutan. Dengan demikian, MPP bukan hanya sekadar terobosan untuk efisiensi birokrasi, melainkan sebuah strategi jitu untuk menggerakkan roda ekonomi lokal, menjadikannya pusat layanan publik yang terpadu sekaligus motor penggerak pertumbuhan daerah. (PERS)