๐——๐—ถ ๐—”๐—ป๐˜๐—ฎ๐—ฟ๐—ฎ ๐—ž๐—ฎ๐—ฏ๐˜‚๐˜ ๐—ฑ๐—ฎ๐—ป ๐—Ÿ๐—ฒ๐—ฟ๐—ฒ๐—ป๐—ด: ๐—œ๐—ธ๐—ต๐˜๐—ถ๐—ฎ๐—ฟ ๐—ž๐—ฒ๐—บ๐—ฎ๐—ป๐—ฑ๐—ถ๐—ฟ๐—ถ๐—ฎ๐—ป ๐—ฑ๐—ฎ๐—ฟ๐—ถ ๐—ฅ๐—ฎ๐—ป๐—ฎ๐—ต ๐— ๐—ถ๐—ป๐—ฎ๐—ป๐—ด

9 hours ago 6

Oleh: Indra Gusnady

OPINI -   Setiap tanggal 20 Mei, bangsa ini kembali mengenang satu titik awal perjuangan: kebangkitan nasional. Namun, di tengah hiruk-pikuk seremoni dan pidato resmi yang kerap klise, Sumatera Barat seperti masih terjebak dalam kabut sejarah. Kita bangga mengutip nama-nama besar dari ranah ini—Hatta, Natsir, Tan Malaka, Syahrir, Agus Salim hingga HAMKA—tetapi sering alpa meresapi, api semangat mereka yang menyala karena kerja, bukan sekadar kenangan.

Lebih dari seabad lalu, Boedi Oetomo menandai lahirnya semangat kebangkitan anak bangsa melawan kolonialisme. Kini, bentuk penjajahan memang telah berubah rupa. Bukan lagi senapan atau kapal perang, melainkan dominasi fiskal, ketergantungan pada pusat, serta kuasa modal luar daerah yang merayap diam-diam ke dalam sendi ekonomi lokal. Sumatera Barat, yang dahulu menjadi mercusuar gagasan nasional, kini justru tertinggal dalam pusaran pembangunan yang masih Jawa-sentris.

Ketimpangan ini nyata. Dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), alokasi pembangunan untuk wilayah barat Indonesia, termasuk Sumbar, mengalami penurunan proporsional. Belanja yang mengalir ke daerah ini sebagian besar bersifat administratif, bukan produktif. Pemerintah daerah kerap hanya menjadi operator kebijakan pusat, bukan sebagai inisiator arah pembangunan daerah yang mandiri.

Salah satu indikator paling mencolok adalah kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Berdasarkan Laporan Realisasi APBD yang diakses dari Kementerian Dalam Negeri (SIPD, 2024), rata-rata PAD kabupaten/kota di Sumbar hanya menyumbang sekitar 7–9 persen dari total belanja daerah. Selebihnya berasal dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan berbagai transfer pusat lainnya. Ini adalah "paradoks otonomi": kita disebut otonom, tetapi nyaris tidak punya daya dukung finansial dari dalam.

Padahal, jika ditengok dari potensi, Sumatera Barat bukan tanah yang miskin. Alamnya elok, tanahnya subur, lautnya kaya, budayanya mempesona. Dari sawah yang membentang di Agam hingga pesisir eksotis di Pesisir Selatan, dari batu kapur Lembah Harau hingga air jernih Danau Singkarak—semua adalah anugerah yang belum benar-benar diolah menjadi kekuatan ekonomi yang berdaya saing.

Sektor pariwisata, misalnya, memiliki peluang besar sebagai lokomotif pertumbuhan. Namun, hingga kini kita belum mampu menjadikan destinasi unggulan seperti: Mandeh, Seribu Rumah Gadang, atau Lembah Anai sebagai ekosistem pariwisata yang solid.

Infrastruktur dasar belum merata, sinergi antarwilayah lemah, dan pemasaran digital nyaris 'stagnan". Kita hanya menunggu kunjungan tahunan, alih-alih membangun kehadiran global yang terencana.

Sektor pertanian dan UMKM pun masih terseok. Sebagian besar petani masih mengandalkan cara tradisional, dengan akses terbatas terhadap teknologi dan pasar. UMKM, meski tumbuh dalam jumlah, belum banyak yang mampu naik kelas. Masalah klasik seperti minimnya akses permodalan, keterbatasan digitalisasi, dan lemahnya koneksi distribusi masih jadi penghambat utama. Sementara provinsi lain sudah melangkah ke tahap hilirisasi dan ekspor digital, Sumbar masih berputar-putar di simpul awal.

Namun, setiap masa gelap selalu menyimpan secercah cahaya harapan. Kebangkitan tidak akan datang dari ratapan, melainkan dari keberanian melihat ke dalam dan bertanya: apa yang bisa kita lakukan sendiri?

Maka, arah baru pembangunan Sumatera Barat harus dimulai dari tiga pondasi: pendidikan vokasional berbasis potensi lokal, pemerataan infrastruktur digital, serta deregulasi yang memudahkan tumbuhnya wirausaha muda.

Pemerintah daerah perlu berani menciptakan terobosan, bukan sekadar mengelola rutinitas. Skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) bisa menjadi pintu masuk untuk mendanai proyek infrastruktur vital. BUMD harus direformasi agar tidak hanya menjadi beban anggaran, tetapi motor penggerak ekonomi berbasis komoditas unggulan. Nagari sebagai unit otonom kultural bisa diarahkan menjadi simpul inovasi, bukan sekadar pelestari adat.

Yang paling penting, Sumbar harus membangun narasi kebangkitannya sendiri. Narasi yang tidak sekadar berkisah tentang masa lalu, tetapi menjawab tantangan masa depan. Bukan hanya sebagai 'negeri perantau', tetapi juga sebagai rumah yang layak dihuni, dikelola, dan dikembangkan. Rumah yang memberi ruang bagi anak-anak muda untuk tumbuh, bereksperimen, dan berinovasi tanpa harus angkat kaki ke kota besar atau negeri asing.

Kebangkitan sejati adalah ketika kita berani melepaskan ketergantungan dan merumuskan masa depan dengan tangan sendiri. Di antara kabut yang menggantung di lembah, dan lereng yang menahan hujan, Ranah Minang harus belajar berdiri tegak. Bukan untuk nostalgia kejayaan, tapi demi masa depan yang layak ditapaki bersama. (*IG)

𝗗𝗶 𝗔𝗻𝘁𝗮𝗿𝗮 𝗞𝗮𝗯𝘂𝘁 𝗱𝗮𝗻 𝗟𝗲𝗿𝗲𝗻𝗴: 𝗜𝗸𝗵𝘁𝗶𝗮𝗿 𝗞𝗲𝗺𝗮𝗻𝗱𝗶𝗿𝗶𝗮𝗻 𝗱𝗮𝗿𝗶 𝗥𝗮𝗻𝗮𝗵 𝗠𝗶𝗻𝗮𝗻𝗴

Oleh [Indra Gusnady)

Setiap tanggal 20 Mei, bangsa ini kembali mengenang satu titik awal perjuangan: kebangkitan nasional. Namun, di tengah hiruk-pikuk seremoni dan pidato resmi yang kerap klise, Sumatera Barat seperti masih terjebak dalam kabut sejarah. Kita bangga mengutip nama-nama besar dari ranah ini—Hatta, Natsir, Tan Malaka, Syahrir, Agus Salim hingga HAMKA—tetapi sering alpa meresapi, api semangat mereka yang menyala karena kerja, bukan sekadar kenangan.

Lebih dari seabad lalu, Boedi Oetomo menandai lahirnya semangat kebangkitan anak bangsa melawan kolonialisme. Kini, bentuk penjajahan memang telah berubah rupa. Bukan lagi senapan atau kapal perang, melainkan dominasi fiskal, ketergantungan pada pusat, serta kuasa modal luar daerah yang merayap diam-diam ke dalam sendi ekonomi lokal. Sumatera Barat, yang dahulu menjadi mercusuar gagasan nasional, kini justru tertinggal dalam pusaran pembangunan yang masih Jawa-sentris.

Ketimpangan ini nyata. Dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), alokasi pembangunan untuk wilayah barat Indonesia, termasuk Sumbar, mengalami penurunan proporsional. Belanja yang mengalir ke daerah ini sebagian besar bersifat administratif, bukan produktif. Pemerintah daerah kerap hanya menjadi operator kebijakan pusat, bukan sebagai inisiator arah pembangunan daerah yang mandiri.

Salah satu indikator paling mencolok adalah kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Berdasarkan Laporan Realisasi APBD yang diakses dari Kementerian Dalam Negeri (SIPD, 2024), rata-rata PAD kabupaten/kota di Sumbar hanya menyumbang sekitar 7–9 persen dari total belanja daerah. Selebihnya berasal dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan berbagai transfer pusat lainnya. Ini adalah "paradoks otonomi": kita disebut otonom, tetapi nyaris tidak punya daya dukung finansial dari dalam.

Padahal, jika ditengok dari potensi, Sumatera Barat bukan tanah yang miskin. Alamnya elok, tanahnya subur, lautnya kaya, budayanya mempesona. Dari sawah yang membentang di Agam hingga pesisir eksotis di Pesisir Selatan, dari batu kapur Lembah Harau hingga air jernih Danau Singkarak—semua adalah anugerah yang belum benar-benar diolah menjadi kekuatan ekonomi yang berdaya saing.

Sektor pariwisata, misalnya, memiliki peluang besar sebagai lokomotif pertumbuhan. Namun, hingga kini kita belum mampu menjadikan destinasi unggulan seperti: Mandeh, Seribu Rumah Gadang, atau Lembah Anai sebagai ekosistem pariwisata yang solid.

Infrastruktur dasar belum merata, sinergi antarwilayah lemah, dan pemasaran digital nyaris 'stagnan". Kita hanya menunggu kunjungan tahunan, alih-alih membangun kehadiran global yang terencana.

Sektor pertanian dan UMKM pun masih terseok. Sebagian besar petani masih mengandalkan cara tradisional, dengan akses terbatas terhadap teknologi dan pasar. UMKM, meski tumbuh dalam jumlah, belum banyak yang mampu naik kelas. Masalah klasik seperti minimnya akses permodalan, keterbatasan digitalisasi, dan lemahnya koneksi distribusi masih jadi penghambat utama. Sementara provinsi lain sudah melangkah ke tahap hilirisasi dan ekspor digital, Sumbar masih berputar-putar di simpul awal.

Namun, setiap masa gelap selalu menyimpan secercah cahaya harapan. Kebangkitan tidak akan datang dari ratapan, melainkan dari keberanian melihat ke dalam dan bertanya: apa yang bisa kita lakukan sendiri?

Maka, arah baru pembangunan Sumatera Barat harus dimulai dari tiga pondasi: pendidikan vokasional berbasis potensi lokal, pemerataan infrastruktur digital, serta deregulasi yang memudahkan tumbuhnya wirausaha muda.

Pemerintah daerah perlu berani menciptakan terobosan, bukan sekadar mengelola rutinitas. Skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) bisa menjadi pintu masuk untuk mendanai proyek infrastruktur vital. BUMD harus direformasi agar tidak hanya menjadi beban anggaran, tetapi motor penggerak ekonomi berbasis komoditas unggulan. Nagari sebagai unit otonom kultural bisa diarahkan menjadi simpul inovasi, bukan sekadar pelestari adat.

Yang paling penting, Sumbar harus membangun narasi kebangkitannya sendiri. Narasi yang tidak sekadar berkisah tentang masa lalu, tetapi menjawab tantangan masa depan. Bukan hanya sebagai 'negeri perantau', tetapi juga sebagai rumah yang layak dihuni, dikelola, dan dikembangkan. Rumah yang memberi ruang bagi anak-anak muda untuk tumbuh, bereksperimen, dan berinovasi tanpa harus angkat kaki ke kota besar atau negeri asing.

Kebangkitan sejati adalah ketika kita berani melepaskan ketergantungan dan merumuskan masa depan dengan tangan sendiri. Di antara kabut yang menggantung di lembah, dan lereng yang menahan hujan, Ranah Minang harus belajar berdiri tegak. Bukan untuk nostalgia kejayaan, tapi demi masa depan yang layak ditapaki bersama.

Read Entire Article
Karya | Politics | | |