JAYAPURA - Tiap tanggal 1 Mei, segelintir kelompok separatis kembali menggaungkan narasi lawas: Papua dianeksasi secara paksa oleh Indonesia. Padahal, fakta sejarah berbicara sebaliknya. Tanggal 1 Mei 1963 bukanlah hari penjajahan, melainkan hari sahnya penyerahan administrasi Papua dari PBB kepada Indonesia, sesuai perjanjian internasional yang disepakati melalui Perjanjian New York tahun 1962.
Kala itu, wilayah yang dahulu disebut Irian Barat masih dalam kendali Belanda, meskipun Indonesia telah merdeka sejak 17 Agustus 1945. Lewat proses diplomasi yang panjang, Belanda menyerahkan wilayah tersebut kepada UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority), dan pada 1 Mei 1963, UNTEA secara resmi mengalihkan kendali kepada Indonesia.
Bukan penjajahan. Bukan agresi. Tapi hasil dari perjanjian internasional yang sah dan diawasi langsung oleh PBB.
Puncak dari proses ini adalah Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) pada tahun 1969, yang kembali dikawal oleh PBB. Dalam proses ini, mayoritas perwakilan rakyat Papua menyatakan memilih tetap menjadi bagian dari Indonesia.
Namun sayangnya, narasi “aneksasi” terus dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk memecah belah, menyebar hoaks, dan menciptakan konflik horizontal. Padahal, mayoritas masyarakat Papua saat ini justru lebih fokus pada pembangunan dan kesejahteraan.
“Kita sudah bersama Indonesia lebih dari 60 tahun. Yang kita butuhkan sekarang adalah kemajuan, bukan kembali ke masa lalu. Mari fokus bangun negeri ini, ” ujar Simon Itlay, Kepala Suku Besar Lapago.
Para tokoh adat dan pemuka agama di Papua mengimbau masyarakat untuk tidak terpancing oleh isu-isu sesat. Mereka menegaskan, saat ini yang paling dibutuhkan adalah pendidikan, lapangan kerja, pelayanan kesehatan, dan infrastruktur, bukan konflik identitas yang berkepanjangan.
1 Mei adalah momentum pengingat sejarah. Momentum bahwa Papua adalah bagian dari Indonesia bukan karena paksaan, melainkan karena kesepakatan, pengakuan, dan tekad untuk bersatu dalam satu bangsa, satu tanah air.
(APK/Red)