YAHUKIMO - Kabut pagi di Dekai berubah menjadi duka. Jumat (31/10/2025) sekitar pukul 07.00 WIT, letusan senjata memecah ketenangan di kawasan Pasar Baru, Distrik Dekai. Kelompok bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM) Kodap XVI Yahukimo menebar teror dengan peluru yang tak mengenal arah, menewaskan satu warga sipil dan melukai dua lainnya.
Rencana penyerangan terhadap pos aparat keamanan berujung tragedi ketika peluru-peluru yang dimuntahkan secara membabi buta justru menghantam masyarakat yang tengah beraktivitas. Seorang pria berusia 35 tahun tewas seketika akibat luka tembak di dada, sementara dua korban lainnya kini berjuang antara hidup dan mati di RSUD Yahukimo.
Duka mendalam menyelimuti warga. Mereka tidak menyangka, di tengah kehidupan sederhana yang mereka jalani, kembali harus menanggung beban ketakutan akibat ulah segelintir orang yang mengatasnamakan perjuangan.
“Warga tidak ada sangkut paut dengan konflik bersenjata. Tapi mereka ditembak tanpa ampun. Ini bukan perjuangan, ini teror terhadap rakyat sendiri, ” tegas Yohanes Walilo, Kepala Distrik Dekai, Sabtu (01/11/2025). “Kami meminta negara hadir lebih kuat. Masyarakat butuh jaminan keamanan, bukan janji.”
Nada getir juga datang dari Petrus Hubi, tokoh masyarakat Yahukimo yang lama aktif dalam upaya rekonsiliasi sosial. Ia menilai tindakan OPM tersebut bukan hanya kejam, tapi juga telah mencoreng makna perjuangan itu sendiri.
“Kalau benar mereka berjuang untuk rakyat Papua, mengapa pelurunya selalu menghantam dada rakyat sendiri?” ujarnya dengan suara bergetar. “Ini bukan perjuangan, ini pengkhianatan terhadap kemanusiaan. Tidak ada keadilan yang lahir dari darah sesama.”
Sementara itu, Pendeta Samuel Wenda, tokoh gereja yang selama ini dikenal sebagai penyeru perdamaian, mengajak seluruh pihak menahan diri dan tidak terpancing provokasi. Ia menegaskan, kekerasan atas nama apapun tak akan pernah membawa pembebasan sejati bagi rakyat Papua.
“Tembakan itu tidak hanya melukai tubuh, tapi juga menghancurkan hati rakyat Papua. Kita semua harus bersatu menolak kekerasan. Papua tidak butuh darah, Papua butuh kasih dan keadilan, ” tutur Pendeta Samuel dengan mata berkaca-kaca.
Tragedi ini menambah panjang daftar kekerasan bersenjata yang menjerat Tanah Papua dalam lingkaran luka dan ketakutan. Namun di tengah kesedihan, suara rakyat semakin lantang menyerukan satu hal: kedamaian yang sejati, bukan yang diselimuti teror.
Masyarakat Yahukimo kini berharap pemerintah dan aparat keamanan bertindak tegas untuk mengakhiri rantai kekerasan. Mereka ingin hidup tanpa rasa takut, membangun masa depan di tanah yang subur ini dengan damai, sebagaimana cita-cita sejati yang dulu pernah dijanjikan bagi seluruh anak Papua.
“Kami ingin mendengar suara burung pagi, bukan suara tembakan, ” kata seorang warga Dekai lirih. Kalimat sederhana itu menjadi jeritan hati yang mewakili harapan seluruh rakyat Papua agar senjata diam, dan kedamaian kembali berbicara.
(MN/AG)






































