BARRU - Kesatuan Aktivis Barru (KIBAR) menilai pernyataan pimpinan DPRD Barru melalui staf ahlinya, Abu Bakar, hanyalah alasan mengada-ada untuk menutupi lemahnya sikap Ketua DPRD Barru dalam menangani kasus pelanggaran etik berat oknum anggota dewan HRD.
Menurut Ketua Umum KIBAR, Fahrul Islam, istilah “kehati-hatian” yang digaungkan oleh pimpinan DPRD justru memperlihatkan ketidakmampuan lembaga ini untuk bertindak tegas.
Padahal, Tatib DPRD Barru sudah jelas mengatur bahwa pengumuman hasil putusan BK tidak membutuhkan kuorum paripurna, karena sifatnya hanya pengumuman, bukan pengambilan keputusan.
“Mereka berdalih hati-hati, tapi faktanya justru memperlambat keadilan. Putusan BK tanggal 6 Agustus 2025 sah, mengikat, dan wajib ditindaklanjuti. Kenapa harus bertele-tele seolah mencari celah hukum yang tidak ada?” tegas Fahrul.
KIBAR menilai, langkah Ketua DPRD Barru yang berulang kali melakukan konsultasi ke Biro Otoda dan bahkan ke DPD Partai Demokrat Sulsel menunjukkan sikap tidak percaya diri sekaligus bentuk pengkerdilan lembaga BK DPRD Barru.
BK DPRD adalah produk hukum internal yang sah dan diatur dalam Tata Beracara BK DPRD. Konsultasi ke luar daerah bukanlah tahapan yang diatur dalam regulasi.
“Jika setiap putusan BK masih harus minta restu biro Otoda atau partai politik, maka apa gunanya lembaga BK? Ini jelas pelecehan terhadap mekanisme hukum internal DPRD, ” lanjut Fahrul.
Meski pimpinan DPRD membantah tudingan perlindungan politik, faktanya semakin jelas publik mencium arah ke sana. Surat resmi Partai Demokrat Barru yang menolak putusan BK tanggal 4 September 2025 menjadi dasar DPRD menunda proses, seolah DPRD dikendalikan kepentingan partai tertentu.
“Kalau memang bukan perlindungan politik, kenapa Ketua DPRD lebih dulu konsultasi ke Demokrat Sulsel ketimbang menegakkan putusan BK? Bukankah seharusnya partai yang datang ke DPRD, bukan DPRD yang tunduk ke partai?” ujar Fahrul.
KIBAR menegaskan bahwa semua sikap Ketua DPRD mulai dari menunda paripurna dengan alasan kuorum, mengumumkan secara mendadak tanpa mekanisme Bamus, hingga terus-menerus berkonsultasi keluar, hanya memperlihatkan satu hal: ketidakmampuan Ketua DPRD Barru menjalankan amanah.
Lebih fatal lagi, HRD yang sudah jelas terbukti melanggar kode etik dan diberhentikan, masih bisa menikmati fasilitas kedewanan dan mengikuti rapat. Hal ini sama saja dengan memberikan peluang memperkaya orang lain secara melawan hukum, berpotensi menyeret pimpinan DPRD ke ranah tindak pidana korupsi (UU Tipikor Pasal 3).
Alasan “kehati-hatian” adalah bentuk penghambatan, bukan solusi.
Konsultasi ke Demokrat Sulsel adalah langkah keliru, tidak diatur regulasi, dan melecehkan putusan BK.
Ketua DPRD Barru telah gagal menjaga marwah lembaga dan justru memperlambat keadilan.
"Barru adalah tanah religius. Tidak ada tempat bagi pelaku amoral di kursi kehormatan DPRD. Kami tegaskan akan terus mengawal kasus ini, bahkan siap menurunkan massa lebih besar bila Ketua DPRD Barru tidak segera menuntaskan mekanisme pemberhentian HRD", ucap Fahrul.