'Reinventing’ Kota Cerdas: Inovasi GIS Dalam Pembangunan Daerah

11 hours ago 4

OPINI -   Dalam keramaian kota yang terus tumbuh dan berubah, ada satu hal yang tak bisa lagi diabaikan: kebutuhan akan perencanaan yang cerdas dan berbasis data. Kota bukan lagi sekadar tumpukan beton, jalan, dan lampu lalu lintas. Ia adalah organisme hidup, penuh dinamika sosial, ekonomi, dan lingkungan. Di tengah tantangan itulah hadir sebuah inovasi teknologi yang kian penting perannya dalam menata wajah kota: "Geographic Information System", atau lebih dikenal dengan GIS.

GIS bukan teknologi baru, tapi pemanfaatannya di Indonesia mulai menunjukkan kemanfaatannya dalam satu dekade terakhir. Dengan kemampuannya memetakan dan menganalisis data berbasis lokasi, GIS membantu pemerintah kota memahami wilayahnya secara lebih menyeluruh—mulai dari kepadatan penduduk, kondisi infrastruktur, hingga potensi bencana. Semua informasi itu tidak lagi tercecer di berkas-berkas laporan, melainkan terintegrasi dalam satu peta digital yang dinamis dan mudah diakses.

Bayangkan seorang perencana kota yang ingin membangun taman kota. Dengan bantuan GIS, ia bisa melihat data kepadatan penduduk, lokasi ruang terbuka hijau yang sudah ada, hingga persebaran polusi udara. Keputusan soal di mana taman itu dibangun bukan lagi sekadar intuisi atau tekanan politik, tapi berdasarkan data nyata dan kebutuhan masyarakat. Inilah awal dari pembangunan kota yang benar-benar berorientasi pada warganya.

GIS juga menjadi garda depan mitigasi risiko. Kota-kota yang rentan terhadap bencana alam kini bisa memetakan zona rawan, merencanakan jalur evakuasi, dan menyiapkan fasilitas darurat. Semua itu dilakukan secara terintegrasi dan proaktif, bukan reaktif setelah bencana datang. Di sinilah letak keunggulan kota cerdas: tanggap, adaptif, dan berbasis antisipasi.

Pembangunan berbasis data juga membuka ruang untuk keadilan spasial. Selama ini, sering kali pembangunan hanya terkonsentrasi di pusat kota. Wilayah pinggiran dan permukiman padat sering kali tertinggal. Dengan GIS, ketimpangan itu bisa terlihat jelas. Peta digital akan menunjukkan area yang belum tersentuh infrastruktur dasar seperti jalan, air bersih, dan sekolah. Data ini menjadi dasar yang kuat untuk merumuskan kebijakan yang lebih merata.

Beberapa kota di Indonesia sudah mulai menapaki jalur ini. Kota Semarang memanfaatkannya untuk pengelolaan banjir, dan Surabaya menjadikan GIS sebagai fondasi pengembangan ruang terbuka hijau.dan layanan publik. Di Makassar, sistem berbasis GIS membantu pemerintah memantau distribusi bantuan sosial secara transparan dan efisien. Kabupaten Sleman, Yogyakarta, sukses memanfaatkan GIS untuk memetakan hotel, restoran, dan tempat usaha lain. Hasilnya, banyak objek pajak yang sebelumnya tak terjangkau kini bisa ditarik secara adil dan transparan. Langkah serupa dilakukan Kota Bogor, yang mengintegrasikan data PBB dan retribusi dalam peta digital, menghasilkan peningkatan PAD yang signifikan dalam dua tahun terakhir. Kota-kota ini memberikan contoh nyata bahwa transformasi digital bisa dimulai dari kebutuhan paling mendasar masyarakat.

Ke depan, integrasi GIS dengan teknologi lain seperti kecerdasan buatan (AI) dan Internet of Things (IoT) akan membuka kemungkinan yang lebih besar lagi. Lampu jalan bisa menyala otomatis berdasarkan pola aktivitas warga. Pengangkutan sampah bisa dilakukan berdasarkan peta titik-titik yang memang memerlukan layanan. Bahkan, perencanaan wilayah bisa dilakukan secara prediktif, berdasarkan simulasi data dan trend yang ada.

Namun disadari, membangun kota cerdas tidak hanya soal mengadopsi teknologi. Yang lebih penting adalah membangun budaya data: keberanian untuk transparan, kemauan untuk mendengar suara warga, dan komitmen untuk menjadikan data sebagai dasar setiap keputusan. GIS hanyalah alat. Nilai sejatinya terletak pada bagaimana kita menggunakannya untuk memperbaiki kehidupan.

Kota cerdas bukan sekadar kota dengan aplikasi digital di setiap sudut. Kota cerdas adalah kota yang memahami dirinya, mendengar warganya, dan membangun berdasarkan pengetahuan yang akurat. Dalam arti itu, GIS bukan hanya alat teknis, melainkan sarana membangun peradaban kota yang lebih manusiawi.

Tentu, semua ini tidak akan terwujud tanpa dukungan sumber daya manusia yang melek teknologi. Oleh karena itu, literasi digital menjadi agenda penting. Para pengambil kebijakan, perencana kota, bahkan warga biasa, perlu mengenal bagaimana data bekerja dan bagaimana mereka bisa menjadi bagian dari ekosistem kota digital. Partisipasi warga dalam sistem GIS yang inklusif akan memperkuat keterhubungan antara pemerintah dan masyarakat.

Mungkin kita tidak akan langsung melihat perubahan drastis dalam semalam. Tapi setiap peta yang diperbarui, setiap titik data yang tercatat, dan setiap kebijakan yang lahir dari pemahaman spasial adalah langkah kecil menuju kota yang lebih baik. Kota yang tidak hanya tumbuh, tapi juga hidup dan berdaya. Saat ini adalah waktu yang tepat untuk bergerak menuju kota digital yang tanggap dan inklusif. GIS hadir sebagai jembatan antara data dan keputusan, antara rencana dan realitas.

Oleh: Indra Gusnady, SE, MM (Pengamat Kebijakan Publik & Perencanaan Kota / Kepala Badan Keuangan Daerah Kabupaten Solok)

Read Entire Article
Karya | Politics | | |