OPINI - Keputusan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Barru, Sulawesi Selatan, menanggung utang baru senilai Rp22 miliar dari Bank Sulselbar kini menjadi sorotan tajam dan menuai kritik pedas dari berbagai elemen masyarakat.
Persetujuan bulat dari seluruh fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Barru, alih-alih meredakan polemik, justru dinilai sebagai langkah gegabah yang berpotensi menjerumuskan daerah ke dalam beban finansial yang lebih berat.
Keputusan ini menuai tanda tanya besar, mengingat utang Pemkab Barru ke Bank Dunia warisan puluhan tahun hingga kini belum tuntas. Kalangan tokoh masyarakat, aktivis, mahasiswa, dan LSM sepakat bahwa kebijakan utang baru ini tidak memiliki urgensi kuat dan terkesan hanya berorientasi pada proyek semata.
Wakil Ketua DPRD Barru dari Partai Gerindra, Muh. Alifandi Aska dalam pernyataan resminya yang dikutip dari media Getarnwes.com mencoba membela keputusan fraksinya.
Ia berdalih pinjaman tersebut krusial karena dialokasikan untuk perbaikan infrastruktur jalan dari Pekka Pao hingga Limpo Majang dan pembebasan lahan Sekolah Rakyat (SR) yang disebut mendesak bagi "keluarga miskin, khususnya yang tergolong miskin ekstrim."
Namun, justifikasi ini patut dipertanyakan. Klaim mendesak untuk perbaikan jalan dan pembebasan lahan SR yang sejatinya merupakan tugas rutin pemerintah seolah dijadikan tameng untuk membenarkan penambahan utang.
Pertanyaan kritisnya adalah: Mengapa proyek yang diklaim 'sangat mendesak' dan 'besar manfaatnya' tersebut tidak dapat dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) reguler? Apakah kinerja pengelolaan APBD selama ini sedemikian buruk hingga proyek prioritas harus diutangkan?
Lebih mengkhawatirkan lagi, Alifandi mengakui bahwa sebagian dana pinjaman juga akan digunakan untuk menutupi defisit anggaran daerah. Penggunaan utang untuk menambal kebocoran defisit adalah praktik yang sangat tidak sehat dalam pengelolaan keuangan daerah.
Ini mengindikasikan adanya masalah fundamental dalam perencanaan dan alokasi anggaran Pemkab Barru, di mana utang jangka panjang justru digunakan untuk menyelesaikan masalah keuangan jangka pendek.
Meskipun ditegaskan bahwa pinjaman ini "tidak akan membebani bupati berikutnya" karena diperkirakan lunas bersamaan dengan utang Bank Dunia pada tahun 2029, hal ini hanyalah janji di atas kertas.
Realitasnya, penumpukan utang, bahkan dengan jadwal pelunasan yang "teratur, " tetap menggerogoti potensi fiskal daerah. Kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan ini semakin terkikis mengingat catatan utang lama yang belum terselesaikan.
Aksi persetujuan total dari seluruh fraksi di DPRD Barru, bahkan dengan hanya "catatan khusus" dari sebagian fraksi, menunjukkan lemahnya fungsi kontrol legislatif. DPRD seolah-olah hanya menjadi stempel legitimasi bagi eksekutif, alih-alih menjadi representasi suara kritis masyarakat yang menolak beban utang baru.
Masyarakat Barru berhak mendapatkan jawaban yang lebih transparan dan bertanggung jawab. Pemkab dan DPRD harus menjelaskan secara rinci, mengapa utang menjadi solusi tunggal, dan bagaimana mereka memastikan bahwa dana Rp22 miliar ini tidak hanya menjadi proyek mercusuar sesaat yang akan diwariskan sebagai beban utang bagi generasi Barru di masa mendatang.
Barru, 11 Oktober 2025
Penulis: Muh. Ahkam Jayadi