OPINI- Puisi “bagai seekor tikus aku berada” menggambarkan realitas yang sering dialami banyak orang—rasa tidak percaya diri, terpinggir, dan seolah tidak punya tempat di dunia yang ramai dan penuh tuntutan. Dalam setiap baitnya, terasa adanya pergulatan batin antara keinginan untuk diakui dan kenyataan bahwa dunia tidak selalu memberi ruang bagi semua suara.
Menurut saya, puisi ini menggambarkan betapa kerasnya tekanan sosial dalam kehidupan modern. Seseorang bisa merasa “tak setara” hanya karena tidak sesuai dengan standar yang diciptakan oleh masyarakat. Ungkapan *“mereka berkata ku tak setara”* menyoroti bagaimana pandangan orang lain dapat membentuk cara seseorang menilai dirinya sendiri. Ini menunjukkan bahwa sering kali nilai diri kita ditentukan bukan oleh kemampuan, melainkan oleh penilaian lingkungan sekitar.

Namun, di balik kesedihan dan kepasrahan yang tampak, puisi ini juga menyiratkan pencarian makna hidup. Pertanyaan seperti *“adakah yang bisa merubah jalan takdirku?”* bukan hanya keluhan, tetapi juga bentuk refleksi—sebuah keinginan untuk memahami mengapa hidup terasa tak adil, dan adakah jalan lain menuju arti yang lebih baik.
Menurut saya, pesan tersirat dari puisi ini adalah pentingnya keberanian untuk menerima diri sendiri. Mungkin takdir memang tidak bisa diubah, tetapi cara kita memandang diri dan dunia bisa. Rasa kecil dan takut bersuara adalah bagian dari proses manusia untuk tumbuh dan menemukan nilai sejati dalam diri.
Puisi ini bukan sekadar ungkapan putus asa, melainkan cermin dari jiwa yang sedang mencari cahaya di tengah gelapnya perasaan.
Senin 03 November 2025
Opini by Aswa Reski Wahyuni Tenridjadjah















































