Belajar Bahagia di Negeri Sendiri

4 hours ago 3

INSPIRASI -   Suatu sore di Ubud, seorang turis Jepang duduk di bale bambu, menatap sawah yang menguning. Ia menyesap teh jahe pelan-pelan, lalu berkata lirih, “Di sini… waktu seperti berhenti. Aku tidak kaya, tapi entah kenapa merasa cukup.”

Kalimat sederhana itu menggema seperti cermin bagi kita sendiri — bangsa yang sering lupa bahwa bahagia tidak selalu menuntut lebih, melainkan mampu merasa cukup.

Selama bertahun-tahun, ukuran kebahagiaan dunia dirumuskan lewat angka—dari 'Gross Domestic Product' hingga 'World Happiness Index'. Negara-negara Skandinavia selalu berada di puncak daftar itu. Finlandia, Denmark, Norwegia, seolah menjadi kiblat bagaimana bahagia seharusnya diukur.

Namun di balik angka-angka itu, ada paradoks kecil yang sering terlewat: mengapa banyak orang dari negeri-negeri “bahagia” itu justru mencari kedamaian di tempat-tempat sederhana seperti Bali, Lombok, atau Yogyakarta?

Di pantai Kuta, saya pernah berbincang dengan seorang turis asal Amerika Serikat. Ia mengaku telah berkeliling dunia, dari Swiss hingga Selandia Baru. Tapi di Indonesia, katanya, ia menemukan sesuatu yang jarang ia temui di negerinya sendiri. “Di sini, orang tersenyum tanpa alasan. Di tempat saya, senyum biasanya butuh tujuan, ” ujarnya, separuh bercanda separuh serius.

Pernyataan itu mengingatkan kita, bahwa barangkali bahagia bukanlah hasil perhitungan ekonomi atau kemapanan sosial, melainkan suasana batin yang tumbuh dari keikhlasan dan keterhubungan dengan orang lain.

Kita hidup di negeri yang sering dikeluhkan — macet, panas, administrasi rumit, harga tak menentu. Namun di sela keluh itu, kita masih bisa mendengar suara tukang sate yang tertawa bersama pembelinya, anak-anak berlari di gang sambil memegang layang-layang, ibu-ibu menawar di pasar sambil bercanda. Ada denyut bahagia yang sederhana, yang tidak akan pernah muncul di tabel statistik global.

Data 'World Happiness Report 2024' menempatkan Indonesia di urutan ke-80 dari lebih dari 140 negara. Angka itu sekilas membuat kita tampak kalah dari negara-negara maju. Tapi jika kebahagiaan diukur dari rasa memiliki komunitas, waktu bersama keluarga, dan keikhlasan berbagi, mungkin kita jauh lebih tinggi. Karena di sini, di antara hiruk-pikuk yang tampak kacau, masih ada ruang untuk saling menolong, saling menertawakan kesialan, dan saling mendoakan tanpa pamrih.

Seorang Turis Jepang, sebelum kembali ke negaranya, sempat berkata, “Saya datang mencari tenang, tapi justru menemukan hangat.” Ia menatap langit senja Bali, lalu menambahkan, “Di negeri saya, semuanya teratur. Tapi di sini, semuanya terasa hidup.”

Sementara itu, turis Amerika yang saya pernah bertemu di Yogyakarta menulis catatan kecil di buku perjalanannya: “Maybe happiness is not in perfection, but in connection.”

Barangkali, di situlah pelajaran terbesar bagi kita. Ketika dunia berlomba menciptakan sistem agar hidup lebih efisien, Indonesia justru memberi pelajaran bahwa hidup yang terlalu teratur bisa kehilangan rasa. Bahagia, seperti aroma tanah setelah hujan, tidak bisa dipaksa; ia tumbuh dari kesederhanaan yang tulus.

Mungkin kita tak punya indeks kebahagiaan yang tinggi, tapi kita punya hal lain yang lebih berharga: rasa syukur yang belum sepenuhnya punah. Bahagia di negeri ini sering datang diam-diam — di warung kopi pagi, di pasar tradisional, di tawa anak-anak yang berlari tanpa alas kaki.

Dan kalau saja kita mau berhenti sebentar dari kejaran ambisi dan perbandingan, mungkin kita akan sadar: kita tak perlu pergi jauh untuk belajar bahagia. Karena barangkali, bahagia itu sudah sejak lama tinggal di sini — hanya kita yang jarang menyapanya.

 Oleh: Indra Gusnady

Read Entire Article
Karya | Politics | | |