Dari Ladang ke Etalase, Herman Djide: Saatnya Desa Menjadi Pusat Inovasi Produk Lokal

6 hours ago 3

PANGKEP SULSEL - Di tengah derasnya arus globalisasi dan urbanisasi, desa sering dianggap sebagai wilayah yang tertinggal dari segi ekonomi dan inovasi. Namun, anggapan ini mulai dipatahkan oleh desa-desa kecil di Jepang yang berhasil menciptakan peluang ekonomi dari sesuatu yang sangat sederhana: hasil tani dan budaya lokal.

Salah satu contoh sukses datang dari Desa Iiyama di Prefektur Nagano yang memasarkan oyaki, roti isi tradisional, bukan hanya sebagai makanan, tapi sebagai pengalaman budaya. Bukan cuma dijual di toko, mereka membuka workshop membuat oyaki bagi wisatawan. Strategi ini bukan sekadar menjual produk, tetapi juga menjual cerita, tradisi, dan kebanggaan lokal.

Contoh lain yang lebih kreatif datang dari Desa Satsuma di Kagoshima. Alih-alih hanya menjual ubi jalar sebagai bahan makanan, mereka mengolah limbahnya menjadi produk kerajinan seperti sabun alami, kertas washi, dan kosmetik berbahan dasar alami. Pendekatan ini bukan hanya inovatif secara ekonomi, tapi juga berkontribusi pada pelestarian lingkungan.

Yang menarik, masyarakat desa di Jepang mampu membaca tren pasar modern seperti minat pada gaya hidup sehat, produk alami, dan keberlanjutan. Mereka tidak melawan zaman, melainkan beradaptasi dan mengemas nilai tradisional dalam format modern yang diminati konsumen urban.

Fenomena ini memberikan pelajaran penting bagi banyak desa di Indonesia. Kita kaya akan hasil pertanian seperti pepaya, singkong, kelapa, hingga rempah-rempah. Sayangnya, mayoritas masih dijual dalam bentuk mentah tanpa nilai tambah. Padahal, peluang inovasi terbuka lebar dengan mengolah hasil-hasil ini menjadi produk non-kuliner yang unik dan bernilai tinggi.

Bayangkan jika limbah kulit pepaya diolah menjadi sabun eksotis khas tropis. Atau jika serat singkong dijadikan bahan dasar tas ramah lingkungan. Desa-desa di Indonesia bisa menjadi pusat ekonomi kreatif berbasis pertanian—asal ada kemauan untuk berpikir melampaui cara lama.

Namun tentu saja, inovasi seperti ini membutuhkan kolaborasi. Warga desa, pemerintah, pelaku industri kreatif, dan teknologi harus saling mendukung. Desa butuh akses pelatihan, pendampingan pemasaran, serta jalur distribusi yang efisien agar produk mereka bisa bersaing di pasar regional maupun internasional.

Kunci lainnya ada pada cerita. Produk dari desa bukan hanya soal fungsi, tetapi juga tentang asal-usul, proses pembuatan, dan manusia di baliknya. Orang-orang kota membeli bukan hanya sabun pepaya, tetapi membeli "kisah dari desa", membeli "alam yang diramu tangan nenek". Cerita memberi nilai emosional yang tak tergantikan oleh produk massal.

Media sosial bisa menjadi senjata utama desa. Jika desa-desa Jepang bisa viral lewat TikTok dan YouTube karena wisata membuat kerajinan atau makanan lokal, desa-desa Indonesia juga bisa. Kita punya keunikan, keindahan, dan keragaman budaya yang sangat luas—tinggal bagaimana mengemasnya.

Pemasaran digital tidak harus mahal. Video sederhana dari smartphone yang menampilkan proses pembuatan sabun dari pepaya, atau kerajinan dari kulit singkong, bisa sangat menarik di mata pasar global yang haus akan produk autentik dan berkelanjutan.

Pada akhirnya, inovasi di desa bukan hanya soal mencari keuntungan. Ini tentang membalik narasi lama bahwa desa itu tertinggal. Justru, desa bisa menjadi contoh kemajuan yang berakar pada alam dan budaya. Desa bisa menjadi pelopor dalam ekonomi hijau dan berkelanjutan.

Kini, saatnya desa-desa di Indonesia bertransformasi—bukan meninggalkan akar, tapi justru menyiram akarnya dengan gagasan baru. Jika desa-desa di Jepang bisa melakukannya, kita pun bisa. Bahkan, mungkin dengan sentuhan lokal yang lebih kaya dan beragam.

Karena sejatinya, kekuatan bangsa bukan hanya ada di kota besar dan pusat industri, tetapi juga tumbuh di ladang, di kebun, di tangan-tangan warga desa yang mampu bermimpi besar dan bertindak nyata.

Pangkep 23 April 2025

Penulis: Herman Djide 

Ketua Dewan Pimpinan Daerah Jurnalis Nasional Indonesia Cabang Kabupaten Pangkep 

Read Entire Article
Karya | Politics | | |