OPINI - Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Barru atas usulan utang pemerintah daerah sebesar Rp31 miliar menimbulkan pertanyaan serius di benak masyarakat.
Keputusan ini, yang disahkan melalui Sidang Paripurna, seakan menabuh genderang optimisme pembangunan. Namun, di balik narasi kemajuan yang digaungkan, tersimpan potensi risiko finansial yang bisa menjadi beban berat bagi generasi mendatang.
Persetujuan utang ini dikabarkan akan digunakan untuk membiayai proyek-proyek strategis. Pertanyaannya, seberapa mendesak dan relevan proyek-proyek ini jika harus dibiayai dengan utang? Apakah pemerintah daerah tidak memiliki alternatif lain yang lebih berkelanjutan? Utang, pada hakikatnya, bukanlah solusi ajaib.
Ia adalah instrumen keuangan yang harus digunakan dengan sangat hati-hati, terutama jika dikaitkan dengan dana pinjaman jangka panjang yang bunganya harus dibayar oleh rakyat.
Transparansi dan Akuntabilitas yang Dipertanyakan
Salah satu poin krusial yang patut disoroti adalah transparansi dan akuntabilitas. Masyarakat berhak tahu secara rinci, proyek apa saja yang akan dibiayai, berapa anggaran pastinya, dan bagaimana skema pengembalian utang tersebut.
Publikasi detail mengenai alokasi dana dan proyeksi manfaat jangka panjang menjadi keharusan. Tanpa informasi yang jelas, keputusan ini hanya akan memunculkan kecurigaan dan kekhawatiran.
Apakah keputusan ini murni demi kepentingan publik atau ada agenda lain yang tersembunyi?
DPRD, sebagai perwakilan rakyat, seharusnya bertindak sebagai penjaga gerbang terakhir dari setiap kebijakan yang berpotensi merugikan masyarakat.
Peran pengawasan mereka tidak boleh hanya sebatas "cap stempel" persetujuan. Mereka harus memastikan bahwa setiap rupiah utang yang diambil benar-benar akan menghasilkan multiplier effect yang signifikan bagi perekonomian lokal dan kesejahteraan rakyat, bukan sekadar memoles wajah kota dengan proyek-proyek mercusuar yang minim manfaat langsung.
Mempertaruhkan Masa Depan
Bupati Barru, dalam berbagai kesempatan, selalu menekankan pentingnya pembangunan infrastruktur untuk memacu pertumbuhan. Namun, pertumbuhan seperti apa yang kita inginkan jika fondasinya dibangun di atas tumpukan utang? Risiko gagal bayar, meskipun kecil, tetap ada.
Apalagi, jika proyek yang dibiayai tidak berjalan sesuai harapan atau tidak menghasilkan pendapatan yang memadai untuk mengembalikan pinjaman. Pada akhirnya, yang akan menanggung beban adalah rakyat Barru melalui potensi kenaikan pajak daerah atau pemotongan anggaran untuk sektor-sektor esensial lain seperti pendidikan dan kesehatan.
Masyarakat Barru kini menanti realisasi janji-janji yang mengiringi utang Rp31 miliar ini. Semoga saja, utang ini benar-benar menjadi investasi untuk kesejahteraan, bukan sekadar beban yang akan membelenggu masa depan. Kesejahteraan rakyat harus menjadi prioritas utama, bukan sekadar kata-kata manis dalam pidato politik.