TEKNOLOGI - Di usianya yang baru menginjak 37 tahun, Edwin Chen telah mencatatkan namanya sebagai individu termuda dalam daftar bergengsi 400 orang terkaya di Amerika versi Forbes. Keberhasilannya tidak datang begitu saja, melainkan buah dari ketekunan membangun Surge AI, perusahaan pelabelan data yang tahun lalu meraup pendapatan fantastis sebesar 1, 2 miliar USD. Kekayaan bersih Chen diperkirakan mencapai 18 miliar USD, sebuah angka yang setara dengan sekitar Rp 295 triliun.
Lahir dari visi Chen sendiri pada tahun 2020 tanpa suntikan dana eksternal, Surge AI kini menggandeng lebih dari satu juta kontraktor. Mereka berperan vital dalam menyediakan kumpulan data berkualitas tinggi bagi raksasa teknologi seperti Google, Anthropic, dan OpenAI, yang sangat bergantung pada data untuk melatih model-model kecerdasan buatan mereka.
Pendekatan Surge AI mengingatkan pada Scale AI, yang didirikan oleh Alexandr Wang, miliarder mandiri termuda di dunia. Keduanya memanfaatkan lonjakan permintaan besar-besaran dari perusahaan teknologi dan startup yang berlomba-lomba mengembangkan AI.
Namun, keunikan Surge AI terletak pada fokusnya. Berbeda dengan pesaing yang cenderung menggarap tugas pelabelan data yang lebih sederhana, seperti identifikasi rambu lalu lintas untuk mobil otonom, Chen justru berani menyelami proyek-proyek yang lebih kompleks dan terspesialisasi. Keputusan ini lahir dari pengalaman pribadinya yang mendalam.
Dengan latar belakang pendidikan yang kuat di bidang matematika, ilmu komputer, dan linguistik dari Massachusetts Institute of Technology (MIT), Chen mendapatkan pencerahan saat bekerja sebagai engineer pembelajaran mesin di berbagai perusahaan teknologi ternama seperti Facebook, Dropbox, Google, dan Twitter. Di Facebook, ia terlibat dalam pengembangan algoritma rekomendasi dan pencarian, namun seringkali dihadapkan pada tantangan pengumpulan data yang memadai.
Chen mengenang betapa frustrasinya ketika sebuah perusahaan eksternal membutuhkan waktu enam bulan hanya untuk menyerahkan kumpulan data yang ternyata penuh dengan kesalahan. Bayangkan, data yang seharusnya melabeli berbagai jenis bisnis justru salah kaprah, seperti restoran yang dilabeli sebagai kedai kopi, atau sebaliknya.(PERS)