Eldy Satria Noerdin: Penerapan Prinsip 'Dominus Litis' dalam RUU KUHAP, Antara Efektivitas dan Risiko Penyalahgunaan Kewenangan

1 month ago 29

HUKUM - Penerapan prinsip "dominus litis" dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) menimbulkan perdebatan sengit di kalangan akademisi dan praktisi hukum. Prinsip ini memberikan kewenangan utama kepada jaksa dalam mengendalikan perkara pidana, tidak hanya pada tahap penuntutan di pengadilan tetapi juga dalam proses penyelidikan dan penyidikan.

Hal ini menandai perubahan signifikan dari sistem yang diatur dalam KUHAP saat ini, yang mengedepankan prinsip diferensiasi fungsional antara polisi, jaksa, dan hakim. Dalam sistem yang berlaku saat ini, masing-masing lembaga memiliki peran yang terpisah tetapi saling berhubungan.  

Pemberian kewenangan tambahan kepada jaksa melalui prinsip "dominus litis" memunculkan kekhawatiran mengenai potensi ketimpangan kekuasaan, terutama antara jaksa dan polisi. Selain itu, risiko penyalahgunaan kewenangan pun meningkat. Dalam sistem hukum Indonesia yang bersifat campuran, jaksa telah memiliki peran besar dalam menentukan apakah suatu perkara akan dilanjutkan atau dihentikan.

Jika prinsip ini diterapkan tanpa mekanisme pengawasan yang ketat, ketimpangan yang ada dapat semakin memburuk, mengingat sistem hukum Indonesia mengadopsi elemen dari sistem adversarial dan inquisitorial.  

Dalam sistem inquisitorial murni, seperti yang diterapkan di Prancis, jaksa memang memiliki wewenang luas dalam proses penyidikan, termasuk mengarahkan pengumpulan bukti dan menentukan apakah sebuah perkara harus diteruskan. Namun, kewenangan ini diimbangi oleh mekanisme pengawasan yang ketat, seperti keberadaan hakim penyidik (juge d’instruction) dalam menangani kasus-kasus tertentu.

Selain itu, jaksa berada dalam hierarki yang diawasi oleh Kementerian Kehakiman. Sementara itu, dalam sistem adversarial seperti di Amerika Serikat, peran jaksa lebih terbatas pada tahap penuntutan, sementara penyelidikan sepenuhnya menjadi tanggung jawab polisi atau lembaga independen.

Meskipun jaksa di AS dapat memberikan rekomendasi terkait bukti yang diperlukan, mereka tidak memiliki kontrol langsung terhadap penyidikan. Namun, mereka memiliki kewenangan penuh dalam menentukan apakah sebuah kasus akan dibawa ke pengadilan (prosecutorial discretion), yang tetap memberikan pengaruh besar dalam sistem peradilan.  

Risiko Penyalahgunaan dan Ketimpangan Kewenangan  
Pemberian kewenangan besar kepada jaksa tanpa pengawasan yang memadai dapat berisiko disalahgunakan. Teori Herbert L. Packer mengenai proses hukum menekankan pentingnya keseimbangan kekuasaan dalam sistem peradilan pidana. Jika satu lembaga memiliki dominasi yang terlalu besar, objektivitas dan independensi dalam proses penegakan hukum dapat terancam. Packer membedakan antara "Crime Control Model", yang lebih menekankan efektivitas penegakan hukum, dan "Due Process Model", yang lebih berorientasi pada perlindungan hak individu. Jika prinsip *dominus litis* diterapkan tanpa kontrol yang jelas, maka dominasi jaksa dapat menggeser keseimbangan ke arah sistem yang lebih represif.  

Dalam konteks Indonesia, beban kerja jaksa yang sudah tinggi dapat memperburuk koordinasi antarlembaga jika kewenangan mereka diperluas. Risiko penyalahgunaan wewenang juga meningkat jika tidak ada mekanisme checks and balances yang efektif. Hans Kelsen, melalui "Stufenbau Theorie", menekankan pentingnya hierarki dan spesialisasi peran dalam sistem hukum untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Jika kewenangan jaksa diperbesar tanpa pengawasan yang memadai, maka mereka bisa mendominasi peran polisi, yang berpotensi merusak keseimbangan dalam sistem peradilan pidana.  

Prinsip Distribusi Kekuasaan dan Keadilan Prosedural  
Dalam teori pemisahan kekuasaan yang dikemukakan oleh Montesquieu, pembagian kekuasaan antara berbagai lembaga negara bertujuan untuk mencegah konsentrasi kewenangan yang berlebihan. Dalam konteks hukum acara pidana Indonesia, distribusi kekuasaan antara polisi, jaksa, dan hakim bertujuan untuk menjaga keseimbangan agar tidak ada satu lembaga yang memiliki kendali absolut atas proses hukum. Jika jaksa diberikan wewenang yang terlalu besar, keseimbangan ini dapat terganggu, dan risiko penyalahgunaan kekuasaan pun semakin besar. Oleh karena itu, mekanisme pengawasan dan pembagian peran yang jelas menjadi hal yang krusial untuk menjaga prinsip keadilan dalam sistem peradilan.  

Selain itu, perspektif "Procedural Justice" yang dikemukakan oleh John Rawls juga relevan dalam diskusi ini. Rawls menekankan bahwa keadilan tidak hanya terkait dengan hasil akhir, tetapi juga dengan proses yang adil dan transparan. Dalam penerapan prinsip "dominus litis", penting untuk memastikan bahwa semua pihak, termasuk tersangka, korban, dan masyarakat, merasa bahwa proses hukum berjalan dengan adil. Tanpa mekanisme pengawasan yang kuat dan keterlibatan publik, kebijakan ini dapat memunculkan ketidakpercayaan terhadap sistem peradilan, karena masyarakat bisa merasa bahwa keputusan hukum hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu yang memiliki akses dan kekuasaan.  

Kebutuhan akan Transparansi dalam Pembentukan RUU KUHAP  
Salah satu persoalan utama dalam pembahasan RUU KUHAP adalah kurangnya transparansi dalam proses legislasi. Hingga saat ini, draft resmi terbaru dari RUU KUHAP belum dipublikasikan secara terbuka, termasuk naskah akademiknya. Hal ini menyulitkan publik, akademisi, dan praktisi hukum dalam memberikan masukan yang berbasis data dan analisis yang komprehensif.

Meski beberapa draft lama telah beredar, tidak ada jaminan bahwa draft tersebut masih relevan dengan versi yang sedang dibahas oleh DPR. Ketidakjelasan ini dapat menyebabkan diskursus yang tidak produktif dan berpotensi menciptakan kesalahpahaman mengenai substansi RUU tersebut.  

Ketertutupan dalam proses pembentukan undang-undang dapat berakibat pada rendahnya legitimasi aturan yang dihasilkan. Kasus serupa pernah terjadi dalam legislasi Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law), di mana kurangnya transparansi dalam proses pembahasan mengundang reaksi keras dari publik. Oleh karena itu, agar sistem hukum tetap memiliki legitimasi yang kuat, keterbukaan dalam proses legislasi RUU KUHAP harus menjadi prioritas utama.  

Kesimpulan: Menjaga Keseimbangan Kewenangan dalam Sistem Peradilan  
Secara keseluruhan, penerapan prinsip "dominus litis" dalam RUU KUHAP harus dipertimbangkan dengan matang. Sistem peradilan Indonesia yang tidak sepenuhnya mengikuti model adversarial maupun inquisitorial membutuhkan keseimbangan antara efektivitas penegakan hukum dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Pemerintah dan DPR harus memastikan bahwa prinsip-prinsip dasar keadilan, transparansi, dan akuntabilitas menjadi landasan utama dalam setiap kebijakan yang dibuat.  

RUU KUHAP harus menjalani uji publik yang transparan dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan agar substansinya dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, keseimbangan kewenangan antara polisi, jaksa, dan hakim harus tetap dijaga untuk memastikan sistem hukum yang adil dan efektif.  

Penerapan prinsip "dominus litis" memang dapat meningkatkan efektivitas penegakan hukum, tetapi juga membawa risiko yang signifikan jika tidak disertai dengan mekanisme pengawasan yang memadai. Tanpa transparansi dan pengawasan yang kuat, kebijakan ini dapat merusak keseimbangan dalam sistem peradilan dan menurunkan kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum. Oleh karena itu, pemerintah dan DPR harus mempertimbangkan semua aspek dengan cermat agar kebijakan yang dihasilkan tetap berpihak pada prinsip keadilan dan demokrasi.

Kotamobagu, 21/02/2025

Eldy Satria Noerdin, S.H.M.H,
Praktisi Hukum dan Dosen Universitas Dumoga Kotamobagu

Read Entire Article
Karya | Politics | | |