Fenomena Mudik dan Problematisasi Distribusi Tiket: Sebuah Tinjauan Kritis

1 month ago 20

OPINI - Mudik merupakan fenomena sosial yang telah mengakar dalam budaya masyarakat Indonesia, khususnya dalam menyambut Hari Raya Idul Fitri. Tradisi ini tidak hanya berfungsi sebagai mekanisme pemulihan ikatan sosial dalam lingkup keluarga, tetapi juga sebagai cerminan dari mobilitas sosial dan ekonomi yang semakin kompleks. Oleh karena itu, setiap tahun pemerintah berupaya memfasilitasi kebutuhan mobilitas masyarakat dengan menghadirkan program mudik gratis sebagai bentuk intervensi negara dalam menjamin aksesibilitas transportasi bagi kelompok ekonomi menengah ke bawah.

Namun, dalam implementasinya, program ini tidak terlepas dari berbagai permasalahan teknis maupun struktural, yang dalam banyak kasus mengarah pada praktik distribusi tiket yang tidak transparan. Salah satu contoh kasus terbaru adalah dugaan praktik mafia tiket dalam program mudik gratis hasil kerja sama antara Express Bahari dan Kementerian Perhubungan RI (Kemenhub) dengan kuota 5.000 orang. Gangguan teknis dalam proses pendaftaran, hilangnya tiket dalam hitungan jam, serta munculnya indikasi permainan internal menjadi indikator adanya persoalan mendasar dalam mekanisme distribusi tiket yang perlu dikaji secara lebih mendalam.

Mudik dan Intervensi Negara: Perspektif Filsafat Keadilan

Dalam konteks filsafat keadilan, negara memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa kebijakan publik, termasuk program mudik gratis, dikelola dengan prinsip distributive justice (keadilan distributif). John Rawls dalam A Theory of Justice (1971) menekankan bahwa keadilan dalam distribusi sumber daya harus memperhatikan dua prinsip utama: kebebasan dasar yang sama bagi semua individu dan keuntungan terbesar bagi mereka yang berada dalam posisi paling tidak menguntungkan. Jika terdapat indikasi bahwa distribusi tiket mudik gratis tidak berjalan secara transparan dan merata, maka secara epistemik hal tersebut bertentangan dengan prinsip keadilan sosial yang seharusnya menjadi landasan kebijakan publik.

Di sisi lain, Jean-Jacques Rousseau dalam The Social Contract (1762) mengemukakan bahwa legitimasi pemerintahan bertumpu pada kehendak umum (general will), yang berarti kebijakan negara harus mencerminkan kepentingan kolektif, bukan kepentingan kelompok tertentu. Apabila praktik mafia tiket terbukti mengakomodasi segelintir pihak yang memiliki akses eksklusif terhadap distribusi tiket, maka fenomena ini mencerminkan ketimpangan struktural yang berlawanan dengan konsep demokrasi partisipatif. Dalam hal ini, negara tidak hanya gagal menjalankan fungsi distributifnya, tetapi juga secara tidak langsung melanggengkan oligarki dalam sistem pelayanan publik.

Problematisasi Distribusi Tiket dan Aspek Transparansi

Fenomena hilangnya tiket mudik gratis dalam waktu yang sangat singkat tanpa adanya mekanisme pendaftaran yang transparan mengindikasikan adanya ketidakseimbangan dalam akses informasi serta potensi monopoli distribusi. Berdasarkan perspektif Michel Foucault dalam Discipline and Punish (1975), ketidakseimbangan ini dapat dipahami sebagai manifestasi dari panopticism, di mana terdapat pihak tertentu yang memiliki kuasa untuk mengendalikan akses terhadap sumber daya publik secara sepihak. Dalam konteks ini, kuasa tidak hanya terletak pada aparat negara atau penyelenggara program, tetapi juga pada aktor-aktor yang memiliki kendali terhadap sistem teknologi dan administrasi distribusi tiket.

Keberadaan mafia tiket, jika memang terbukti ada, juga dapat dikaji melalui teori rent-seeking behavior dalam ekonomi politik, yang merujuk pada upaya individu atau kelompok tertentu untuk mendapatkan keuntungan ekonomi tanpa memberikan kontribusi produktif. Dalam hal ini, eksploitasi sistem distribusi tiket untuk kepentingan pribadi atau kelompok bukan hanya mencederai prinsip efisiensi ekonomi, tetapi juga menciptakan distorsi dalam mekanisme pasar transportasi. Sebagai akibatnya, kelompok masyarakat yang seharusnya menjadi penerima manfaat utama justru kehilangan akses terhadap layanan yang sejatinya mereka berhak peroleh.

Urgensi Transparansi dan Akuntabilitas dalam Kebijakan Publik

Sebagai respons terhadap polemik ini, diperlukan komitmen serius dari pemerintah daerah dan otoritas terkait untuk memastikan bahwa kebijakan mudik gratis dikelola dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Dalam perspektif Max Weber tentang birokrasi rasional (The Theory of Social and Economic Organization, 1922), keberhasilan suatu kebijakan bergantung pada sejauh mana proses administrasinya dilaksanakan berdasarkan norma-norma objektif, bukan berdasarkan kepentingan subjektif aktor-aktor tertentu.

Dalam konteks distribusi tiket mudik gratis, penerapan sistem berbasis teknologi seharusnya dapat meningkatkan efisiensi sekaligus mengurangi potensi kecurangan. Namun, jika dalam implementasinya sistem tersebut justru menimbulkan ketidakadilan, maka transparansi dan pengawasan publik menjadi instrumen yang esensial. Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk meningkatkan transparansi dalam distribusi tiket meliputi:
    
1.    Audit independen terhadap sistem pendaftaran tiket guna memastikan bahwa tidak ada manipulasi dalam proses distribusi.

2.    Penerapan sistem verifikasi berbasis data kependudukan untuk mencegah pihak-pihak yang tidak berhak mendapatkan tiket secara tidak sah.

3.    Peningkatan keterbukaan informasi publik, termasuk publikasi real-time terkait kuota tiket yang tersedia dan mekanisme distribusinya.
    
4.    Mekanisme pengaduan yang efektif bagi masyarakat yang merasa dirugikan agar dugaan kecurangan dapat segera ditindaklanjuti.

Kesimpulan

Fenomena mafia tiket dalam distribusi layanan mudik gratis mencerminkan problematika klasik dalam tata kelola kebijakan publik, di mana ketimpangan akses dan ketidaktransparanan menjadi isu utama. Dalam perspektif filsafat keadilan, negara memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa kebijakan ini benar-benar berpihak pada masyarakat yang membutuhkan, bukan dimanfaatkan oleh segelintir kelompok yang memiliki akses lebih besar terhadap sumber daya publik.

Oleh karena itu, keberlanjutan program ini di masa mendatang harus didasarkan pada prinsip-prinsip tata kelola yang baik (good governance), dengan menekankan aspek transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik. Jika tidak ada upaya serius dalam membersihkan sistem dari praktik rent-seeking dan monopoli akses, maka kebijakan mudik gratis hanya akan menjadi simbol tanpa substansi yang nyata bagi masyarakat.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Montesquieu dalam The Spirit of the Laws (1748), “Kekuasaan cenderung korup, jika tidak dikendalikan dengan sistem yang transparan dan akuntabel.” Maka, tantangan utama bagi pemerintah saat ini bukan hanya dalam menyediakan layanan mudik gratis, tetapi juga dalam memastikan bahwa layanan tersebut dapat diakses secara adil oleh seluruh masyarakat tanpa intervensi kepentingan kelompok tertentu.


Surabaya, 13 Maret 2025

Oleh Fungsionaris Badan Koordinasi HMI Jawa Timur bidang Agraria dan Maritim (Dzulkarnain Jamil, M.Sos)

Read Entire Article
Karya | Politics | | |